15. Arbanat untuk adik

804 55 7
                                    

Veranda Pov

Ada perbedaan antara sore ini dengan sore - sore sebelumnya. Rasanya, aku begitu semangat untuk segera pulang kerumah.

Tadi pagi Shania bilang kepadaku, kalau dirinya akan menginap dirumah nenek dan oma hari ini. Tentunya, aku dan Frieska juga setuju untuk menyusul. Mumpung weekend kan? Siapa tau bisa liburan bareng sama Icha.

"Ayo Kak. Ayoook. Disana loo."

Aku enggak akan bisa menyembunyikan senyum merekahku saat ini. Enggak tau kenapa, memikirkan bakal liburan bareng sama Icha, aku langsung teringat dengan tingkah adikku yang sangat antusias ketika kami berlibur bersama.

Waktu itu, kami pergi ke pasar malam. Lumayan meriah, dengan kelap kelip lampu meskipun agak sedikit becek karena sehabis hujan.

"Kak Danda ihh.. cepetaan." Rengeknya saat itu.

Memang sih, anak kecil yang sedikit gembul, ditambah aksen cadelnya, bisa membuat siapapun luluh. Oh, apalagi kalau si Adek sudah sedikit manyun dan memberikan tatapan melasnya.

Duhh, gemess. Enggak sabar ketemu Icha.

Eh!

Entah ya, setiap kali melihat Icha, aku seperti melihat bayangan Nabilah dibalik iris cokelat terangnya.

Agak mirip. Cuman bedanya, garis wajah Icha lebih tegas dan nggak seimut Nabilah.

Eh tapi, mungkin kalau Nabilah gede, apa bakal mirip Icha kali ya?

Lagi - lagi aku terlarut dalam khayalanku. Tapi memang bener deh, kalau diingat - ingat, mungkin Nabilah bakal secantik Icha ketika beranjak remaja. Meski enggak serupa, tapi garis wajah mereka mirip. Mungkin kalau Dedek masih hidup, bisa jadi dikira anak kembar mereka berdua.

"Hihi, bisa - bisa." Ucapku setuju dengan pemikiranku.

"Kak Ve, udah siap?" Tanya Frieska yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.

"Eh Mpris, bikin kaget aja kamu. Udah kok."

Buru - buru mengambil tas yang sudah aku siapkan, aku berjalan menghampiri Frieska yang langsung pergi menuju kamarnya.

"Tunggu. Oh, udah." Setelah selesai mengecek lagi isi tas yang aku bawa, kembali aku melanjutkan langkahku kekamar didepanku.

Pintu kamar Frieska becat putih. Interior kamarnya pun juga lebih bernuansa putih - hitam dengan sedikit aksesoris kuliahnya yang berwarna. Agak berbeda dengan kamarku yang dominan warna biru. Kalu enggak biru gelap, biru muda, baby blue, atau warna - warna soft yang lain. Soalnya, aku memang suka warna biru. Biru itu adem tau, kayak liat air, menenangkan.

"Masih belum beres Dek?" Tanyaku begitu melihat Frieska yang masih sibuk menata barang bawaanya kedalam sebuah koper.

"Belum Kak. Tunggu ya.." Katanya sambil memasukan beberapa buku setebal kamus terjemahan kedalam kopernya.

Adekku ini, memang tergolong rajin anaknya. Lumayan ambis walaupun engggak se-ambis Kak Melody. Soalnya, Frieska hanya akan cenderung menekuni bidang yang sudah dia anggap 'klop' dengannya. Berbeda dengan Kak Melody, apapun yang dipegangnya, harus ekstra perfect dan bernilai tinggi. Jadi ya gitu, kadang males aja kalau harus berurusan sama Kak Imel. Hem, memang dasarnya anak pertama kali ya?

"Dek, kayaknya kita mendingan ikut Kak Mel tinggal dirumah nenek - oma deh." Celetukku sambil rebahan dikasur abu - abunya.

Setelah aku pikir - pikir, mungkin memang alangkah baiknya kita tinggal serumah sama nenek - oma. Rumah disini memang gede. Masih lebih gede malah daripada rumah nenek - oma yang cenderung minimalis. Tapi, rasanya hampa. Kurang suasana ramainya, apalagi Shania habis ini kayaknya juga bakal ikutan pindah kerumah nenek - oma.

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang