39. Senyum, Mimpi, (Hilang)

666 56 38
                                    

Sebuah ukiran dari kata andai, senyum

Jutaan do'a di tengah malam, mimpi

Terpaan ombak dipadang pasir, hilang

.KN.

Author Pov

Ada hal kejujuran dan ketidak jujuran yang sering manusia lakukan kepada diri sendiri. Bukan hanya berkaitan dengan lisan dan pandangan mata. Tetapi juga perbuatan dan kemantapan hati.

Klise, semua orang pasti tahu. Setiap pokok permasalahan dan alasan senyum seseorang, pasti memliki sebuah arti. Entah itu untuk dirinya sendiri, atau ditujukan untuk orang - orang disekitarnya.

Iya, sulit untuk memulai sesuatu. Tapi bertahan jauh lebih sulit. Memang..

Andai berandai - andai sebuah ukiran senyum dapat terlaksana layaknya mimpi yang enggak akan pernah hilang. Namun pada kenyataannya, manusia itu naif.

Ingin bermimpi, tapi jarang tersenyum.

Suka tersenyum, tapi tak berani bermimpi.

Sudah bermimpi, sering tersenyum, tapi tak mau kehilangan.

Naif dan egois. Iya, kan?!

Kadang, sebuah kesulitan merupakan mimpi buruk bagi masing - masing orang. Enggak hanya berstatus 'aku - kamu' tapi ada diantara kami dan kita.

Lalu, kalau sudah terlanjur? Kita bisa apa?

Diem, menyerah. Atau,

Ngelawan dan merubah takdir?

Padahal, ketika bendera warna kuning dipagar rumah sudah tersipu oleh sang Angin, enggak akan ada satu manusiapun yang bisa merubah takdirnya.

Sebab, kata terlambat, berarti hilang sudah kesempatan.

Lantas, Shania harus apa?

Apa harus menunggu keterlambatan itu datang, karena belum paham kesempatann apa yang bisa ia dapatkan?

Atau memang inilah, takdir yang harus ia terima? Enggak bisa berbuat apapun, hanya menjadi tokoh pajangan dicerita yang ingin dia nikmati?

Oh Tuhan Pecipta dan Pemilik Takdir.

Shania berdoa penuh harap. Berilah Shania petunjuk. Tolonglah dirinya yang masih mau bermimpi dan sanggup tersenyum. Walaupun kehilangan itu, akan sulit untuk mempertahankan keduanya.

Sekali lagi, jika andai kata waktu berada dalam genggamannya, mungkin Shania akan lebih mampu mengendalikan keadaan. Tapi sekali lagi, pada kenyataanyanya itu hanyalah sebuah lantunan kata - andai.

Hari ini memang belum berakhir. Masih ada tiga puluh tujuh menit lagi untuk berganti menjadi esok hari. Tapi Shania sudah merapalkan seribu manteranya untuk segera bertemu Sang Mentari, dengan senyumnya, tentunya.

Sepi, hening..

Tengah malam hari ini, dingin.

Mungkinkah yang Shania rasakan sama seperti gadis yang berada didepannya?

Shania dan dia memang berbeda. Shania hanya memakai cardigan tipis, sedangkan dia terbalut lembut dengan selimut. Dan, bibir Shania masih sanggup merona, sedangkan si Adik tidak sama sekali. Pucat dan mungkin dingin. Hanya selingan napas yang terdengar berat dari masker alat bantu napas yang menutupi mulut dan hidungnya.

Kritis?

Enggak sih!

Mana ada tamparan Papa sampai membuat sang Anak diambang maut. Iya, kan? Bener kan? Tolong katakan aja kalau itu benar. Sungguh, Shania enggak butuh penjelasan dokter atau kakaknya Sinka itu menerangkan ini itu. Karena..

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang