9. Akibat

779 57 5
                                    

Icha Pov

Seharusnya, aku gak usah menemui Kak Kinal waktu itu.

Seharusnya juga, aku gak perlu meminta maaf dan menerima ajakanya.

Kalo aja hari itu aku sedikit lebih egois, mungkin aku gak bakal memenuhi permintaan Kak Kinal hanya karena ngerasa bersalah ke dia.

Nyesel? Iya!

Selama ini gak pernah ada seorangpun yang nampar aku karena marah. Bahkan Bunda nggak pernah setega itu.

Bukan.. bukan karena rasa sakit dipipiku. Tamparan Shania enggak ada apa - apanya. Bahkan jika dibandingkan dengan pukulan Shani. Kekuatanya jauh berbeda. Tapi, perbuatannya itu, benar - benar mengusik perasaanku. Rasa sakit dan sesak, terlebih lagi rasa kesalku karena entah kenapa aku nggak bisa membalas perlakuanya.

"Aggrhhhhhh.............."

Akhir - akhir ini aku susah mengontrol emosiku. Kenapas sih, harus aku? Kenapa juga aku terlalu perasaan begini?

Kutatap pantulan wajahku dicermin. Kulihat bayangan seorang gadis yang tampak agak berantakan. Kubasuh sekali lagi wajahku dengan air yang banyak. Berharap, raut terluka itu hilang.

Sekali lagi kulihat pantulanku dicermin. Enggak ada yang berubah. Heh, gadis itu, aku, apapun yang terjadi.. hari ini aku harus bisa melewatinya.

"Bunda.. Icha kuat Bunda.. Icha pasti bisa. Doain Icha ya Bun.." kataku pada diri sendiri.

Tidak sampai satu jam kemudian, aku sudah sampai di parkiran sekolah. Ada perasaan aneh ketika aku hendak membuka pintu. Tanganku, bergemetar..

Enggak.. jangan lagi pliss.. jangan sekarang. Tenang Cha.. tenang..

Kutarik napas.. dan kuhembuskan perlahan. Kulakukan berulang - ulang sambil menyenderkan kepalaku kekursi mobil.

"Non gapapa? Apa kita pulang aja? Atau mau Bapak antar ke dokter? Mukanya non Icha keliatan pucat." Tanya Pak Anto.

"Saya gapapa kok Pak.. cuman pengen nyender sebentar." Balasku sebisa mungkin enggak membuatnya khawatir.

Kulihat Pak Anto mengangguk tanpa mengatakan apapun. Disaat seperti ini, aku harus bisa merilekskan diriku terlebih dahulu. Entah kenapa, perasaan ini tiba - tiba muncul kembali. Padahal yang terakhir kali, itu sudah sekitar 3 tahunan yang lalu.

Drtt.. drtt..

Masih dengan mata terpejam, kuambil ponsel disaku rokku.

Kak Shani in coming call....

(tut)

"Hemmm" Sapaku begitu sambungan terhubung.

"Gimana? Udah mendingan belom?" Tanyanya dengan nada khawatir.

"Udah.. lumayan. Cuman, masih gemeteran.." Jawabku sedikit lemas dan masih dengan memejamkan mata. Sedikit kuturunkan kursinya supaya tubuhku agak rebahan.

"Huh.. Kakak kesana aja ya? Atau kakak telponin dokter Can-."

"Gak perlu, gue bisa ngatasinya kok! Bentar lagi pasti udah enakan. Lagipula Kak Candra juga bilang, kalo gue harus lebih berani buat ngadepin rasa takut itu, kan?!" Potongku.

"Udah, situ belajar aja yang rajin. Jangan sampe pas gue nginep besok, disuruh ngerjain PRnya situ." Sambungku dengan nada bercanda. Berharap, Shani tidak lagi khawatir dan aku menjadi sedikit lebih tenang.

"Hemmm ngece dia. Yaudah.. nanti kalo ada apa - apa langsung telpon kakak yaa. Kakak bakal terus stand by." Katanya masih dengan nada khawatir.

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang