65. INGIN DAN TIDAK INGIN

2.1K 332 1K
                                    

Udah nabung belum nih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udah nabung belum nih?

Aku udah ingetin dari jauh hari ya. Setelah tamat Jenaro bakalan terbit jadi novel. kumpulin aja dulu uangnya buat jaga-jaga.

Sebelum baca pilih pilih dulu yuk:

Ganteng / Manis

Poni depan / Poni samping / Tanpa poni

Pendiam / Periang

Ngegosting / digosting

Bobrok / Kalem

Ramein di detik-detik terakhir menuju ending ini ya. Untuk silent readers bantu tekan bintang di pojok kiri bawah sebagai bentuk penghargaan kalian buat aku, makasih😊

➖➖➖

65. INGIN DAN TIDAK INGIN

Angin kencang disertai sambaran petir membawa dinginnya malam semakin menusuk kulit seolah langit tengah menunjukkan kekuasaannya.

Dibalik keseramannya, ada satu cowok yang setia memandang derasnya air sungai di bawah sana. Tak peduli petir yang berulang kali hadir di cakrawala, tak peduli hembusan angin yang mengigilkan tubuh tanpa jaket itu, tak peduli hujan yang sebentar lagi akan turun membasahinya, Jenaro berdiam di pinggiran jembatan. Jembatan di mana Oife pernah berada di posisinya sekarang.

Dan Jenaro sudah tahu apa yang terjadi pada Oife sehingga sore itu langkahnya menetap di tempat ini. Begitupun dirinya yang kini memilih berdiri sembari memegang pembatas besi dengan tatapan jatuh ke sungai.

Arusnya begitu deras. Dari atas sini Jenaro bisa melihat kegelapan yang menyambutnya jika dia benar-benar nekat terjun ke dalam sungai.

Tidak pernah terpikir olehnya bahwa penyesalan ini membuatnya menjadi hilang akal. Entahlah, Jenaro hanya belum terbiasa merasakan sakitnya ditolak berkali-kali terlebih dengan seseorang yang dia cintai. Jenaro juga baru sadar akan perasaannya yang ternyata sudah terlanjur dalam setelah dia kehilangan Oife.

"Kalo gue mati apa lo mau maafin gue, Fe?"

"Apa lo bakal benci gue?"

"Apa lo bakal jadian sama cowok lain?"

"Apa lo bakal lupain gue?"

"Jawab, Oife." Tatapan matanya meredup. Genggamannya kian menguat. Helaan napasnya terdengar berat. Jenaro membayangkan Oife ada di hadapannya, mendengarkan setiap pertanyaannya tetapi mulut cewek itu terkunci rapat. Katakan saja Jenaro sedang berhalusinasi. Bahkan sekedar mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Oife pun rasanya susah dia lakukan lantaran seluruh tubuhnya mati rasa. Dinginnya tidak main-main. Jemarinya terasa beku.

JENARO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang