After : Dua Puluh Lima

738 66 0
                                    

Pukul lima sore Abila baru sampai di rumah. Ia langsung naik dan masuk ke dalam kamar untuk mandi dan segalanya.

Menemani jasad tidak boleh sembarangan. Maksudnya, jika habis menemani, melayat atau ikut mengantarkan jenazah kita di haruskan untuk mandi minimal cuci tangan, kaki dan wajah.

Alasannya? Sampai sekarang memang belum di ketahui pastinya
Tapi, setiap orang tua pasti mengajari anaknya soal ini.

Abila salah satunya. Ia ingat ucapan bundanya yang mengatakan kita harus langsung mandi ketika pulang dari melayat, atau menghatar.

Kurang lebih tiga puluh menit Abila keluar kamar lagi setelah mandi, sholat ashar dan yang lainnya. Gadis itu turun ke lantai satu, mencari makanan di dapur tapi yang ada hanya satu telur mata sapi dan sedikit cah kangkung.

Tanpa banyak protes ia mengambil nasi dan memakan lauk yang tersedia. Tidak penting milik siapa yang terpenting saat ini adalah perutnya terisi. Ia amat lapar karena dari pagi perutnya tidak terisi apapun.

Sambil makan Abila celingukan. Rumahnya sepi sekali. Rumah sebesar ini tapi sepi, kenapa tidak di bangun taman bermain saja biar ramai?

Ide konyol!

Lupakan.

"Mbak!"

Asisten rumah tangganya yang terlihat masih muda mendekat. Tersenyum ramah pada Abila.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" katanya.

"Ehm.. Bunda kemana, Mbak?"

"Oh, Ibu. Ibu ada di lantai tiga, Nona. Beliau sedang memasukan stok buku bacaan dan mengeluarkan yang kiranya sudah tidak terpakai." jelasnya.

Buku? Sejak kapan bundanya jadi menyukai buku?

"Dengan siapa?"

"Suster Widya menemaninya, Nona."

"Hanya berdua?"

ARTnya menggeleng.

"Tidak. Dengan empat bodyguard dan sepertinya ada Pak Mark juga, Nona."

Abila menghela. Ia menyingkirkan piringnya lalu mengambil segelas air.

"Saya ambil, Nona." Kata ART itu. Abila mengangguk membiarkan piring bekasnya makan di taruh di atas wastafel oleh ART yang Abila tidak tau mananya.

Abila menghela. Ia beranjak dari duduknya untuk naik ke lantai tiga dengan menggunakan lift. Sampai di lantai tiga Abila langsung menuju salah satu ruangan dari tiga belas ruang di lantai tiga.

Sebelum masuk ke ruang baca. Abila menyempatkan untuk masuk ke ruangan pribadi miliknya yang ada di paling pojok. Abila masuk, isinya hanya seperangkat meja kantor, komputer LED, cabinet dan kulkas satu pintu.

Setelah mengeceknya Abila keluar tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kunci yang hanya di miliki olehnya.

Abila berjalan masuk ke dalam ruang baca. Benar, ada empat penjaga dan juga Mark di dalam yang sedang duduk memisahkan buku terpakai dan tidak sedangkan Humairah dan Widya terlihat sedang memasukan buku-buku ke dalam rak.

"Beli buku sampai dua belas box besar untuk apa, Bund?!" katanya sedikit tidak suka.

Bundanya sudah tidak waras. Lihat saja itu, di depannya kini ada kurang lebih dua belas tumpukan kardus besar yang isinya adalah buku.

Humairah dan yang lainnya menoleh, kaget mendengar suara Abila yang terdengat begitu ketus.

Humairah cengegesan memandang anaknya yang kini sedang menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di pilar pintu.

After that [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang