After : Dua Puluh Tujuh

709 67 2
                                    

Saat semua orang sudah pulang tapi Abila masih ada di sekolah. Dirinya mendapat panggilan dari ruang guru karena masalahnya dengan bu Witri kala itu.

Tidak. Panggilan itu bukan panggilan kesalahan melainkan panggilan permintaan maaf dari bu Witri dan suaminya.

Jujur saja. Jatungnya berdegum kencang saat suara speaker sekolah berbunyi dan namanya lah yang di panggil. Sontak saat itu satu kelas menatapnya termaksud guru yang sedang mengajar.

Bagaimana tidak, jika panggilan itu berasal dari kepala sekolah. Yapz, kepala sekolahnya langsumg yang memanggilnya.

Baik, lupakan masalah tadi. Sekarang dirinya harus apa? Pak Kardi lima menit yang lalu baru saja mengabarkan jika mobilnya mogok di tengah jalan dan sampai sekarang belum benar.

Lalu, dirinya bagaimana?

Pakai jasa online? Mungkin saja. Tapi masalahnya ponselnya mati. Ia mengabaikan baterainya karena terlalu terburu saat berangkat tadi.

Helaan napas terdengar. Ia sudah amat lelah, ingin segera merebahkan tubuhnya pada ranjang yang menjadi candunya jika di rumah.

"Neng, kenapa belum pulang?"

Abila menoleh, ada seorang satpam yang berjalan menghampirinya. Kebetulan Abila berdiri di depan pagar sekolah dan sepertinya satpam itu ingin menutup pintu pagar. Abila melirik jam di pergelangn tangan kirinya, sudah pukul dua.

Oh, shit! Satu jamnya terbuang sia-sia.

"Hm, ini, Pak. Jemputan saya belum datang." alibinya padahal jemputan saja tidak ada.

"Aduh, gimana ya ngomongnya," satpam itu merasa tidak enak untuk melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa, ya, Pak?"

"Ehm, ini, Neng. Bapak sudah waktunya tutup gerbang, takut ada anak nakal yang masuk."

Abila langsung merasa tidak enak. Benar juga, ini memang sudah waktunya gerbang sekolah di tutup.

"Oh, iya. Maaf, ya, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu. Assalamualaikum." pamitnya izin pergi.

Abila berjalan meninggalkan sekolahnya. Kakinya terus berjalan tidak tau apa yang akan di temukan nanti di jalan. Ia di buat bingung dengan keputusannya sendiri.

"Ini, Bila pulang jalan?" dialognya sendiri.

"Kok Bila takut, ya..." gummanya terus menerus.

"Ok, ga ada apa-apa." menyemangati dirinya sendiri agar tidak takut dengan hal yang akan terjadi nantinya.

Abila berjalan menyusuri trotoar. Motor dan mobil berlalu lalang menjadi temannya. Hal ini memang sudah sangat sering ia lakukan apa lagi saat dirinya tinggal di rumah satu lantai yang ia sewa dahulu.

Jalan seperti ini sudah menjadi makanannya sehari-hari.

Tapi, saat ini situasinya berbeda. Rumahnya ada di komplek yang sama dengan Lio. Ingat itu.

Helaan napasnya terhempas begitu saja bergabung dengan udara yang sudah terkena polusi ini. Lagu dari Mahalini tiba-tiba terlintas di otaknya. Mulutnya mulai menyanyikan bait-perbait dari lagu tersebut.

Indah semua cerita
Yang t'lah terlewati
Dalam satu cinta

Kita yang pernah bermimpi
Jalani semua
Hanya ada kita

Namun ternyata
Pada akhirnya
Tak mungkin bisa kupaksa
Restunya tak berpihak
Pada kita

After that [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang