"Tante, boleh Bila tau kejadian meninggalnya Ayah Raka?"
"Mas Jafran meninggal karena kecelakaan, Abila,"
"Kecelakaan tunggal yang sampai sekarang belum tau penyebabnya apa. Pihak polisi menutup kasus ini tepat di 24 jam terakhir. Mereka mengatakan jika ini kecelakaan tunggal. Sudah, itu saja." jelas Rahmi tanpa beban. Rahmi bercerita dengan lancar tanpa merasa takut. Tidak seperti dirinya tadi.
"Biarpun tunggal. Setau Bila itu tetap akan ada sebabnya, Tante. Entah karena Om Jafran mengantuk, oleng karena lemas atau hal lainnya. Ini mustahil jika tidak ada sebabnya Tante."
"Tante juga berfikir seperti itu, Bila. Tidak mungkin suatu kejadian terjadi namun tanpa sebab yang jelas."
"Gue yakin kalo Bapak meninggal karena seseorang." celetuk Raka. Mereka bertiga yang ada di ruangan ini kompak menatap Raka tidak percaya. Apa Raka yakin dengan ucapannya?
"Lo kalo ngomong harus di sertai bukti, Rak. Salah-salah nanti kenanya fitnah!" ceplos Jayden.
Rahmi memelototi Jayden, "Jayden. Panggil Raka pakai Abang!" peringatnya. Jayden mengangguk saja tidak begitu perduli, yang terpenting sekarang adalah ayah mereka.
"Gue bakal cari buktinya. Gue ga yakin kalo kejadian yang menimpa Bapak tanpa sebab. Seratus persen gue jamin kalo ada dalang di balik semua ini."
Diam-diam otak Abila berjalan. Apa mungkin jika kecelakaan itu terjadi karena di sengaja? Jika benar, apa masalah pelaku dengan ayah Raka?
Mata Abila bergulir menatap Rahmi, Jayden lalu Raka. Tiga orang yang sedang beradu argumen mengeluarkan pendapatnya sendiri. Apa dirinya harus menolong?
"Maaf Bila menyela. Tapi sebaiknya kita kumpulkan bukti dahulu baru bisa mengajukan ini ke pihak berwajib. Jangan asal memberi asumsi jika contoh sih 'A' pelakunya tanpa di sertai bukti. Benar kata Jayden, nanti timbulnya fitnah dan kalian bisa masuk penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik."
Raka mengacak rambutnya sendiri. Ia frustasi jika harus berurusan dengan hal seperti ini.
"Apa kamu punya solusi, Raka?"
Raka menonggak, menatap ibunya bingung. Gelengan kepala menjadi jawaban sebab bibirnya kaku tidak tau harus menjawab apa.
"Bil, bisa bantu kita?"
Abila menunjuk dirinya sendiri dengan wajah polosnya. Jayden mengangguk.
"Kenapa Abila, Den?" Rahmi bertanya.
Jayden tersenyum yakin. Jangan lupakan jika Jayden tau tentang kisah hidupnya termaksud dengan perusahaan miliknya. Jayden tau, Abila memiliki banyak koneksi dari pada yang lain. Bahkan intel suruhan Tasya saja kalah cepat dengan suruhan Abila.
Jika kalian memiliki perusahaan, apa lagi perusahaan itu tergolong perusahaan besar jangan coba-coba bermain dengan tangan kosong. Kalian akan kalah dengan sekali pukulan.
Dalam perusahaan. Koneksi, intel, bodyguard dan para antek lainnya sangat di perlukan. Apa lagi perusahaan Abila menempati posisi ke dua setelah perusahaan Gibran.
Ehem... Sebenarnya perbandingannya tipis dan jika Abila ingin posisi itu bisa saja ia rebut dalam sekali langkah.
"Ga usah pura-pura polos, Bil. Gue tau lo siapa dan gue juga tau orang-orang jas hitam tadi suruhan siapa." ujar Jayden tiba-tiba.
"Sopan sedikit sama yang tua, Jayden!" peringat Rahmi.
"Kalian berdua lagi ngomongin apaan? Jangan bikin gue jadi manusia paling bego di sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
After that [Selesai]
Teen FictionSeries # 7 Abila Nafisa Putri *** Setelah kembali dari Belanda, Abila memulai hidup barunya dengan melanjutkan sekolahnya di SMA Merpati. Di nyatakan sembuh dari penyakit mentalnya membuat Abila sangat bersyukur terlebih lagi ia bisa berkumpul deng...