After : End

1.8K 89 12
                                    

Masuk kedalam rumah dengan wajah sebab membuat Humairah yang melihatnya khawatir. Abila mendekat pada Humairah yang sedang duduk, menidurkan kepalanya di pundak sang bunda tanpa mengeluarkan satu patah pun.

Humairah menatap putrinya dari samping. Wajah bengkak khas orang menangis, pakaian tertutup. Ini ada apa? Abila kenapa?

"Fisa, Fisa kenapa?" Humairah bertanya.

Abila keukeh diam. Mengabaikan pertanyaan bundanya seolah-olah tidak mendengar. Gadis itu menulikan pendengarannya, melumpuhkan ingatannya dan membunuh rasanya. Sakit? Jelas. Sudah jelas-jelas wajahnya menampakkan penderitaan yang beragam. Kesedihan yang teramat mendalam. Wajah ini sudah tidak bisa di kamuflsekan lagi, sudah tidak bisa di mainkan agar terlihat bahagia. Sudah tidak bisa.

Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Pundaknya naik turun dan itu di rasakan oleh Humairah. Humairah memilih diam membiarkan anaknya mengeluarkan segalanya baru ia akan bertanya jika tangis Abila sudah hilang.

Perlahan-lahan suara isak menjadi raungan kencang. Banyangan tentang dirinya dan Raka berputar kembali bagai kaset rusak. Ia tidak percaya jika dirinya telah di tinggal oleh laki-laki yang ia sayangi untuk kedua kalinya.

Tapi, rasa sakit yang dirinya terima saat ini adalah rasa sakit yang sangat sakit. Di tinggal menikah masih bisa melihat mantan tersenyum dengan keluarga barunya lalu apa kabar jika di tinggal oleh mantan pergi untuk selama-lamanya? Bagaimana jika dirinya rindu? Ia tidak bisa memeluk raganya, hanya bisa melihat gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama.

Pertanyaan di kepalanya sudah tidak bisa di tahan lagi. Tangis anak perempuannya sudah benar-benar membuat dirinya gila. Humairah menepuk pipi Abila berulang kali hingga membuat Abila menegakkan tubuh.

Abila sibuk menghapus air matanya yang terus mengalir walau sudah di hapus berulang kali. Ia menoleh pada bundanya dengan senyum yang di paksakan. Lalu, gadis berkerudung hitam itu tertawa tanpa sebab.

Humairah panik. Tidak, tidak boleh terjadi lagi.

Plak!

Plak!

Plak!

Humairah menampar pipi Abila pelan tapi cukup terasa. Ini adalah cara pertama untuk menyadarkan Abila yang di ajarkan oleh dokter Abila di belanda.

Tamparan itu seakan sebuah sentuhan hangat bagi Abila. Abila bukan tersadar malah semakin tertawa kencang dengan mata mengeluarkan air mata. Humairah yang panik berteriak memanggil Widya yang entah di mana.

Widya datang dengan terburu. Matanya terbelalak melihat nonanya yang duduk di atas sofa dengan tubuh yang bersandar di sandaran sofa. Nonanya tertawa tapi menangis, itu yang membuatnya kaget.

"Bu-"

"Telepon Yanto dan Dodi. Cepetan!" titah Humairah langsung di laksanakan oleh Widya detik itu juga.

"Fisa, Nak. Dengar Bunda?" ujar Humairah sambil mengguncang tubuh Abila. Abila berhenti menangis sebentar, memandang Humairah dengan tatapan kosong.

"Fisa. Ingat Bunda?"

Abila mengangguk. Baru saja Humairah bernapas lega tapi dirinya di buat tegang lagi karena Abila belum sepenuhnya sadar. Gadis itu sekarang menangis dalam diam.

"Nafisa!" kembali mengguncang tubuh Abila yang sedang menangis. Humairah di bantu oleh Widya terus berusaha menyadarkan Abila. Ini berbahaya jika di diamkan terlalu lama, Abila akan seperti beberapa bulan yang lalu. Tidak, itu tidak boleh.

Tidak lama suara langkah yang tergesa terdengar. Yanto dan Dodi mendekat. Yanto langsung melempar tasnya sembarang mengambil alih tempat Humairah tadi.

After that [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang