Distrait

131 48 11
                                    

"Lo mau sampe kapan melototin gue kayak gitu?

Jelas saja lama-lama Mentari risi. Juna menatapnya sangat dekat dan lekat. Tidak sekalipun menoleh ke arah lain sejak berani keluar dari kamar.

"Gue pikir yang bisa bereinkarnasi cuma si Nayla di Ganteng-ganteng Serigala."

"Bangsat korban GGS," umpat Mentari kasar.

"Emang bener, Bum. Gak jauh beda bar-barnya," celetuk Juna masih dengan topik kemiripan Senja dan Mentari.

Mentari menghela napas. Dia akhirnya berniat menuntut jawaban atas kebingungannya. "Apa, sih, yang mirip? Gue ada kembaran gitu? Siapa? Gue gak suka penasaran, ya."

"Asli, lo mirip banget sama—ANJING SAKIT!"

"Lo ngatain gue mirip anjing sakit?!"

Maksudnya tidak begitu, tetapi Juna menjerit seperti itu karena Bumi tiba-tiba menginjak kakinya sangat kuat.

"Iya, makanya jangan ditemenin. Dia suka menghina orang tanpa mau berkaca," tambah Bumi mengompori.

"Sialan lo."

Bumi memberi peringatan lewat sorot matanya, Juna pun akhirnya pasrah dan beranjak meninggalkan mereka berdua. Meskipun Mentari masih belum mendapat jawaban yang benar, dia tidak ngotot dan membiarkannya saja.

"Kenapa lo punya temen kayak gitu?" tanya Mentari sarkas sukses membuat Bumi yang tadinya sibuk memandangi wajah yang dia rindukan itu langsung tersadar.

"Lo juga kayak dia liatin gue? Ada apa, sih, sama muka gue?"

"Gak ada. Btw, maaf kalau bajunya kebesaran. Saya gak punya baju cewek."

Mentari mengangguk mengerti. "Sorry juga udah ngerepotin. Padahal kita gak saling kenal. Tapi itu yang buat gue salut, lo kenapa gampang banget mau bantu gue, Kak? Lo gak ada pikiran gue orang jahat? Copet misalnya."

Bumi ingin sekali mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun, dia berpikir kalau dia menjawab jujur apakah Mentari akan marah dan tidak akan mau lagi bertemu dengannya?

Satu hal yang dia syukuri, meskipun bukan sosok Senja yang asli, paling tidak dia masih bisa melihat wajah cantik yang paling dia sayangi setelah ibunya itu.

"Saya udah kebiasaan bantu orang tanpa harus menaruh curiga."

Ya, bagus Bumi. Egoismu akan mendatangkan petaka suatu hari nanti.

Bumi bangkit, beranjak mengambil kotak obat. Dia hendak mengobati luka di dahi Mentari. "Kenapa kamu bisa luka?"

"Jatoh."

"Nyungsep kamu?"

"Iya, sampe guling-guling."

Bumi terkekeh, setelah sekian lama tidak tertawa sepuas itu.

"Kayak orang gak pernah ketawa."

"Memang," balas Bumi sambil menempelkan plaster di dahi Mentari.

"Rumah kamu di mana?"

"Mau ngapain?"

"Ya saya harus antar kamu pulang lah. Nanti saya dikira nyulik anak orang, bisa panjang urusannya," jawab Bumi logis. Namun, Mentari langsung memasang wajah takut.

"Gue gak mau pulang."

"Terus?"

Mata Mentari berkedip gelisah. Dia meremat ujung kaos kebesaran milik Bumi yang dipinjamkan padanya. "Gue ... takut."

"Kamu dipukul sama siapa?"

Mentari terdiam. Pandangannya tertunduk tak berani menatap Bumi. "Jawab saya, Mentari. Atau saya paksa kamu pulang sekarang."

Spontan Mentari menaikkan kepala, sudah merah sekali mata gadis itu. Membuat Bumi agak takut. Tampaknya dia memang benar-benar setakut itu.

"Papa."

Bumi menghela napas panjang. Kecurigaannya ada sesuatu yang tidak beres benar. Kadar kepekaan Bumi cukup tinggi, apalagi menyangkut seseorang yang berarti dalam hidupnya.

Meskipun Mentari bukanlah Senja. Namun, dia merasa seperti itu. Mentari bagai Senja di matanya.

"Gak apa, kamu tetap harus pulang. Kasihan mama kamu khawatir. Kalau dia masih berani pukul kamu, kita bisa lapor ke polisi."

Mentari belum menjawab Bumi. Dia masih dipenuhi rasa takut sehingga tak bisa berpikir. Namun, beberapa detik dia akhirnya membalas, "Mama ... dirawat di rumah sakit. Gue cuma punya abang tapi dia di penjara. Gue pulang tadi cuma mau ambil baju, tapi gak tau kalau dia ada di rumah."

"Jadi, kamu tinggal di mana?"

"Ngekos. Tapi dia udah tau tempat kos gue. Kalau lo biarin gue pulang sekarang, ini jadi hari pertama dan terakhir lo ketemu gue."

Bumi terdiam, kini dia menjadi sangat bimbang harus apa. Karena dia pun tidak mungkin membiarkan Mentari tinggal di rumahnya. Apa kata orang?

Di tengah kebingungannya, Bayu datang bagai malaikat penolong. Dia telah mendengar semua pembicaraan mereka dari awal. Dan dengan tanpa ragu pria yang sudah berumur itu berkata, "Kamu bisa tinggal di gudang belakang. Nanti bisa dibersihkan sama bibi."

Bayu sejujurnya tidak mau melakukan itu, tetapi setelah dia melihat keceriaan Bumi, senyum dan tawanya yang telah hilang itu kembali lagi, Bayu memutuskan untuk mendukung anaknya.

Hanya satu yang Bayu harapkan dan doakan. Semoga Mentari tidak jatuh cinta dengan Bumi.

 Semoga Mentari tidak jatuh cinta dengan Bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Omaigat jun ngupil knp tida ajak2.

Btw ya ini gatau ada mood aja tiba2 jadi disambung. Ya semoga gak buruk sih..

Suka mendadak, egk jls emg😭😌


Film Out | Choi Beomgyu✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang