Serendipity

138 44 5
                                    

Orang baik akan selalu pergi;

———

Bumi sama sekali tidak menyangka jika dia akan mengajar di sekolah Mentari. Waktu itu Bayu sudah merekomendasikannya, dan lamaran Bumi diterima. Namun, siapa yang menduga akan terjadi kebetulan seperti ini?

Apa benar ini hanya sebuah kebetulan? Atau bagaimana? Apa memang takdirnya seperti ini? Bumi sama sekali tidak mengerti. Seakan-akan memang alam menginginkan mereka terus bertemu.

Menjadi murid dan guru. Adalah hubungan yang cukup lama sampai Mentari lulus. Dia sudah kelas dua belas, tidak lama lagi memang. Namun, tetap saja mereka akan semakin sering berjumpa.

"Heran, dunia sempit banget," gumam Mentari saat mereka sama-sama masuk ke gedung sekolah.

Mentari awalnya tak mempermasalahkan itu, mereka berangkat bersama juga, tetapi ketika siswi-siswi ramai membicarakan Bumi sebagai guru baru yang tampan. Karena visualnya memang gila kalau dilihat-lihat, membuatnya malas dan akhirnya mengambil arah lain.

Gadis itu membenci keramaian, dia tidak bisa berada dalam situasi berisik. Karena isi kepalanya saja sudah sangat mengganggu, jangan lagi ditambah oleh suara-suara manusia yang tidak penting sama sekali.

Mampir ke kantin sebentar, membuka kulkas dan mengambil soda. Namun, belum sempat membayar bahkan belum meminumnya, seseorang datang dan merampas minumannya. "Woi!"

"Masih pagi, gua yakin lo belum sarapan bocah degil."

Mentari sudah kesal, dan sekarang Mario datang membuat suasana hatinya semakin buruk. "Siniin minuman gue. Gue haus."

"Gak."

"Anak anjing."

"Nama bokap gue Yoga, nyokap gue Maria. Bukan anjing, sorry."

Mentari menghela napas panjang. Dia sudah tidak punya cukup tenaga untuk meladeni sikap Mario yang sangat menyebalkan. Dia pun segera pergi dari sana. Dengan kerongkongan yang sangat kering karena haus.

Masuk ke dalam kelas dan duduk di tempat duduknya di sudut paling belakang. Hanya seorang diri.

Dulu, dia memiliki teman sebangku dan hubungan mereka sangat baik. Aza, teman paling dia sayangi sebelum gadis itu meninggal karena sakit tifus.

Mentari menghela napas panjang, sangat panjang seakan-akan itu adalah sisa napas yang dia miliki. Dia merindukan Aza, biasa gadis itu akan memeluknya ketika dirinya merasa tertekan, dan ketika harinya terasa sangat berat.

Sekarang, dia tidak memiliki siapa pun lagi. Orang-orang baik itu sudah meninggalkannya. Hingga dirinya membuat kesimpulan sendiri bahwa; orang baik akan menghilang.

Namun, dia masih belum tahu apakah dia harus menghindar dari orang-orang baik, atau menerima dan membiarkan mereka masuk dalam hidupnya. Lalu pergi seperti yang selalu terjadi.

Segalanya menjadi rumit karena pemikirannya sendiri. Bukankah dia harusnya paham, bahwa hidup memang seperti itu. Mau bagaimana lagi?

Mentari mendaratkan kepalanya yang terasa sangat berat ke atas meja. Hendak memejamkan mata karena semalaman tak dapat tidur dengan nyenyak. Namun, suara seseorang menyadarkannya.

"Selamat pagi."

Suara yang dia kenal, suara yang dia temui, suara yang telah menolongnya malam itu.

Mentari pun menegakkan kepalanya, memandang wajah bersinar di depan kelas yang tengah tersenyum hangat itu. Namanya sendiri yang berarti matahari, tetapi dia merasa bahwa matahari tak ada dalam dirinya.

Dia membutuhkan cahaya dan kehangatan dari matahari yang lain. Bumi, sepertinya dia datang untuk tujuan itu. Pikirnya.

Film Out | Choi Beomgyu✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang