Davi tampak sangat akrab dengan Mario. Secara cowok yang kini resmi menjadi temannya itu sangat mudah bersosialisasi. Dia jadi cemas jika nanti Davi bertemu Bumi dan tidak sedekat itu.
Teleponnya berdering di tengah-tengah lamunannya. Nama Bumi terpampang jelas di layar ponsel. "Halo?"
"Kamu di mana?"
"Kafe."
"Ada banyak kafe di Bandung ini, Sayang."
"Apa?!" Tanpa sadar Mentari memekik, menarik perhatian Davi dan Mario yang tengah berbincang.
Di seberang telepon Bumi malah terkekeh lucu. Padahal Mentari sangat terkejut sampai-sampai otaknya blank.
"Gak lucu," ketusnya.
"Maaf, jadi di mana? Spesifiknya."
"Aku sharelock aja."
Mentari langsung mematikan sambungan telepon karena jantungnya sudah mau meledak. Bibirnya pun kelu susah berbicara. Setelah mengirim lokasi, dia menjelaskan pada Mario bahwa tidak terjadi apa pun.
"Serius gak papa?" tanya Mario memastikan lagi.
Mentari mengangguk kaku. "Gak papa. Tapi gue hampir gak punya jantung lagi."
"Hah? Kenapa? Maksudnya gimana, Tar? Ngomong yang jelas." Mario panik, begitu pula dengan Mentari yang panik dengan perasaannya.
Hanya karena kata sayang, hatinya langsung berantakan. Dalam hati Mentari merutuki Bumi yang tanpa ragu memanggilnya seperti itu saat mereka belum ada hubungan apa pun. Maksudnya, apa tidak bisa beru aba-aba dulu? Supaya jiwa dan raganga siap untuk baper!
Namun, yang namanya Bumi tidak akan pernah melakukan itu. Dia tipe yang spontan, tetapi sangat manis. Apalagi senyumnya sangat memabukkan. Ah, Mentari sebentar lagi akan kehilangan akal.
Meminum kopi di gelasnya hingga setengah, dia mencoba kembali fokus dengan tugas. "Gue mau nugas lagi. Sana lo."
Mario hanya menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. Baru saja mereka berbaikan dan resmi menjadi teman. Sekarang sudah main usir-usir saja.
Memandang Mentari dari tempatnya duduk, sungguh perasaan memang tidak bisa dibohongi. Mentari benar-benar sangat cantik. Yang membuat Mario tergila-gila adalah saat gadis itu menampakkan senyumannya. Namun, sayang sekali bukan dirinya penyebab senyum indah itu terbit.
Lonceng kembali berbunyi, tampaklah sosok yang selama ini menjadi penyebab Mentari tersenyum dan perlahan pulih dari traumanya. Mario sungguh iri padanya.
Bumi berjalan menghampiri Davi, memesan kopi dan beberapa camilan seperti roti untuk dimakan bersama dengan Mentari.
"Siapanya Mentari?" tanya Davi. Mencoba menginterogasi.
"Calon pacar."
Keberanian Bumi mengatakan itu membuat Mentari benar-benar ingin lenyap saja dari dunia ini. Tentu saja dia mendengar itu, apalagi Bumi mengatakannya cukup keras. Mario pun mendengarnya.
Davi cukup tercengang. "Memang adik gue mau?"
Bumi mengangguk dengan rasa percaya diri yang tinggi. "Pasti. Selain mapan, saya juga tampan."
Davi tak pernah menyangka kalau cowok di depannya ini begitu berani. Padahal dia sudah memasang wajah setajam dan sangat sangar tadi. "Lo buat adik gue nangis, jangan harap bisa ganteng lagi."
Bumi terkekeh renyah kemudian menganggukkan kepala. "Jadi, boleh, kan?"
Davi berdecak malas. "Nanya lagi berubah pikiran nih gue."
Bumi langsung pergi dari hadapan Davi sambil membawa pesanannya. Menghampiri Mentari yang tengah menyembunyikan wajahnya di balik buku. Saat pria itu sudah duduk, Mentari memukuli lengannya.
"Kenapa ngomong gitu ke abang?!"
"Salahnya di mana, Mentari? Memang bener, kan?"
Mentari rasanya ingin sekali mencakar Bumi tapi tidak mungkin. Sorot matanya yang begitu lekat dan indah berhasil membuatnya luluh. "Terserah."
"Ei, jangan marah."
Mentari menggeser kursinya menjauh dari Bumi. Dia tidak ingin dekat-dekat karena tidak aman bagi keselamatan jantungnya. Sedangkan Bumi yang melihat itu malah cengengesan.
"Cowok gak jelas," cibir Mentari.
"Gak jelas gimana? Udah jelas kok tadi bang Davi bolehin aku jadi pacar kamu."
"BISA DIAM GAK?!"
Jangan ketawa, jangan baper🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Film Out | Choi Beomgyu✓
أدب الهواة❝Bumi dan Senja adalah kolaborasi alam semesta yang paling indah.❞ ©Puputt_09 2021