Perbincangan mereka terhenti karena Bumi mendapat sebuah panggilan. Dia cukup terkejut sampai melamun beberapa saat. Juna mengintip dan ikut terkejut juga.
Sejak kejadian di mana Bintang masuk rumah sakit, mereka sudah jarang berkomunikasi. Mereka berempat berpencar. Bintang ke Jogja, Rian ke Malaysia karena mendapat beasiswa di sana. Tinggallah Bumi dan Juna berdua di Bandung.
"Itu Rian," ujar Juna menyadarkan Bumi yang tengah melamun.
Bumi pun menjawab telepon tersebut. "Halo?"
"Jawab pertanyaan gue sekali tanpa mikir. Bisa?"
Agaknya Bumi terkejut batin karena tiba-tiba saja Rian menyerangnya seperti itu. Bahkan, Juna yang mendengarnya ikut meremang. Namun, Bumi mencoba membalas dengan tenang meskipun dia sangat penasaran.
"Iya, saya bisa."
"Jawab cepat, jangan mikir. Yang lo cari sekarang Senja atau Mentari?!"
"Mentari!"
Jawaban tegas Bumi mendapat kekehan dari Rian di seberang telepon. "Jadi, lo udah bisa bedain mana Senja mana Mentari?"
Juna dan Bumi sama-sama terdiam. Sedetik kemudian mereka terkekeh bersama-sama. "Saya terus berusaha."
"Itu bagus. Perlahan lo sadar kalau hidup terus berjalan. Yaudah, sini ke tempat praktik gue. Gue sharelock."
Rian tidak mengatakan apa-apa tentang alasannya menyuruh mereka datang. Dia tidak berpikir kalau Mentari ada di sana, gadis itu tertidur tapi tidak nyenyak. Dahinya penuh keringat dan wajahnya sedikit pucat.
"Dia baru bisa tidur setengah jam yang lalu. Barusan keringat dingin lagi."
"Tadi malam, ayah waktu ke dapur gak sengaja nabrak meja dan gelas-gelas di atas itu jatuh pecah. Gak lama saya dengar Senja teriak-teriak dan lempar-lempar barang."
Bumi menatap Rian, meminta penjelasan. "Mentari kenapa?"
"Dari gejalanya, PTSD. Gangguan Stres Pascatrauma. Tragedi trauma selalu mengganggunya baik waktu sadar ataupun tidur. Itu sebabnya dia sulit tidur."
Juna menatap Mentari sendu. "Katanya kita punya kembar tujuh. Apa bener, lima dari mereka yang lain juga menderita kayak gini?"
Bumi berujar, "Bisa tinggalin saya sendiri sama Mentari?"
Rian dan Juna menganggukkan kepalanya. Mereka memberi ruang Bumi berdua dengan Mentari. Bumi menghela napas panjang, sesuatu yang membuatnya sangat menderita adalah ketika orang yang berarti dal hidupnya terluka.
Ibunya, Senja, Mentari, mereka bertiga sosok yang sangat berharga. Namun, mereka semua pula yang paling banyak mendapat luka. Dan itu sangat menyakitinya.
"Mentari ... jangan sakit."
Mata Mentari langsung terbuka ketika merasakan genggaman lembut Bumi. Napasnya terengah-engah seperti habis lomba lari. Dia sangat kelelahan dengan mimpi buruk yang selalu menghantuinya.
Menoleh ke samping, tampak sosok Bumi, pria dewasa yang menolongnya karena wajahnya mirip dengan almarhum kekasihnya. "Lo—"
Bumi menginterupsi agar Mentari tidak bicara dengan menempelkan telunjuk di bibirnya. "Katanya, kalau mimpi buruk itu harus denger sesuatu yang indah."
Mentari terus menyimak Bumi tanpa menyelanya. "Saya coba nyanyi untuk kamu, ya?"
"Now you're up in the night. Thinking 'bout a call that you never made. You work for a life. That you don't want anyway."
"Then you meet a real one. Learn another lesson. Guess it's kinda fun in a funny way. Then you wanna be heard scream until your chest hurts. Are you gonna stay or runaway?"
"Hear me when I say, "You can cry". 'Cause your tears are gonna dry. I wouldn't lie. Cross my heart and hope to die. I hope you know that I will be here. With my shoulder by your side. So cry. You can leave it all behind, tonight."
Tangis Mentari pecah dan Bumi pun langsung memberikan pelukan hangatnya. Pelukan yang sangat dibutuhkan untuk orang-orang seperti Mentari. Tidak apa-apa, satu langkah untuk merasa lebih baik itu perlu.
"Gue takut," lirih Mentari sambil sesenggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Film Out | Choi Beomgyu✓
Fanfiction❝Bumi dan Senja adalah kolaborasi alam semesta yang paling indah.❞ ©Puputt_09 2021