Walaupun berat, hari ini harus tetap hidup.
;
Setelah masa skorsing berakhir, Mentari akhirnya kembali ke sekolah. Setiap orang yang melihatnya, mereka akan langsung menjauh atau pura-pura tidak melihat keberadaannya.
Mentari tidak mempermasalahkan itu, toh dia lebih senang seperti ini. Ada alasan mengapa gadis itu tak pernah lagi muncul di kantin sekolah saat jam istirahat, hanya ke sana saat tidak ada orang dan memilih selokan belakang perpustakaan sebagai tempat dia beristirahat.
Itu karena dia tidak suka suara berisik. Dia membencinya. Apalagi suara yang beberapa kali menyindir dirinya. Kalian pasti tahu, banyak manusia sedengki itu.
"Lo pada tau gak kakak kelas yang terkenal sering bolos? Yang kemarin diserang sekolah lain? Dia rupanya jenguk abangnya yang masuk penjara!"
"Ih, emang keliatan dianya udah gak beres. Pasti keluarganya sama."
"Dari yang gue denger, bapaknya tukang judi, abangnya pecandu, gue curiga dia udah gak bersih juga."
Mentari dan Bumi berjalan beriringan melewati satu kelas, dan dia tidak sengaja mendengar percakapan orang-orang itu. Membicarakan keluarganya padahal tidak ada urusannya dengan mereka.
Bumi memerhatikan Mentari yang mematung di tempat, secara bertahap mengatupkan jari-jarinya, seperti sedang menghitung. Dia menyadari bahwa gadis itu tengah mencoba mengontrol diri.
Namun, tak bertahan lama karena celetukan selanjutnya yang membuatnya lepas kendali.
"Jadi, gue punya temen yang tetanggaan sama dia. Katanya dia sering pulang tengah malem bahkan subuh. Gosipnya sih, dia jual diri—"
"BANGSAT!!!"
Mentari menunjang pintu kelas mereka sangat keras hingga membuat mereka semua terlonjak kaget. Sudah kelewat emosi, dirinya sudah tidak terkontrol lagi. Tanpa segan gadis itu menjambak siswi yang membicarakan dirinya dan keluarganya yang tidak-tidak. Mengabaikan teriakannya yang mengaduh kesakitan.
"SIAPA LO BERANINYA HINA KELUARGA GUE! LO TAU APA? SIAPA LO BERANI ANGGAP GUE PELACUR!"
Sekolah masih lumayan sepi, Bumi pun berusaha untuk menghentikan gadis itu sebelum terjadi hal yang lebih buruk. Namun, Mentari tiba-tiba memiliki kekuatan yang sangat besar. Dia mendorong Bumi hingga tubuhnya menghantam dinding.
Mentari berhenti dengan napas yang terengah-engah, bahunya naik turun disertai wajah yang memerah. Dia kemudian menggenggam telapak tangannya sambil berteriak kencang berkali-kali, "AAAAAAAA!!!"
"ARGGHHHHH!!" teriaknya sangat kencang lagi dan lagi sambil berjongkok.
Teriakan Mentari memancing eksistensi orang lain. Mereka berbondong-bondong datang dan melihat Mentari mengamuk seperti orang kesetanan. Dia menunjang meja, kursi, dan mengobrak-abrik fasilitas kelas yang lain.
Sekuat tenaga Bumi mencoba untuk menenangkan gadis itu. Dia memeluknya dari belakang ketika gadis itu hendak memukul jendela kaca. "Mentari ... tenang," bisik Bumi sangat lembut.
"SIALLL MANUSIA-MANUSIA GAK GUNA!!" Mentari terus berteriak, lalu menangis kencang. Meskipun tidak didengarkan, Bumi tetap berusaha menahan kedua tangannya.
"Hei, tenang dulu, ya? Kita ke ruangan saya, di sana kamu bisa marah sepuas yang kamu mau. Sen—" Nyaris Bumi menyebutkan nama Senja. Dia masih menganggap mereka sama. "Mentari, kamu bilang manusia di sini gak guna, kan? Jadi, ayo kita pergi."
Seperti berhasil disihir, Mentari langsung menatap Bumi dengan matanya yang sangat merah dan penuh air mata. "Bawa gue pergi," lirihnya dengan suara sangat lemah.
Bumi mengulas senyum manis, kemudian menganggukkan kepalanya. "Ayo, kita pergi." Dia melepaskan jasnya untuk menutupi wajah Mentari. Menghindari orang-orang melihat tampilan gadis itu yang sangat kacau.
Akhirnya Bumi berhasil meskipun sikunya harus lebam lebih dulu karena terbentur tadi. Siswi-siswi yang menjadi amukan Mentari tak berani menatap Bumi yang melayangkan tatapan tajam pada mereka.
Sedangkan yang lain, yang menyaksikan kejadian itu ramai-ramai membahasnya di grup kelas mereka. Menyebar cerita yang lebih banyak dilebih-lebihkan.
Bumi merangkul Mentari sampai ke ruangannya, mengunci ruangan agar tidak ada siapa pun yang sembarangan masuk. Beruntung hari ini dia yang mengajar, sehingga dia bisa mengizinkan Mentari untuk beristirahat saja.
"Masih mau marah? Ayo marah. Kalau mau nangis juga jangan ditahan."
Entahlah, tapi melihat Mentari mengamuk tadi, dia seperti melihat tirik terlemah yang dimiliki Mentari. Sisi yang mungkin selalu dia sembunyikan hanya karena dia tidak ingin orang lain menganggapnya gila, tidak waras.
Namun, dia sudah tidak sanggup menyimpan semuanya sehingga meluap begitu saja.
Mentari kembali menangis, dia menutup wajahnya dan tubuhnya bergetar hebat. Bumi duduk di sampingnya sambil mengelus puncak kepalanya dengan lembut.
"Suara-suara yang gue benci, bisa nggak mereka mati aja?"
"Gue sakit, dada gue sesak, rasanya gue sendiri yang bakal mati akhirnya!"
Tubuh Bumi bergerak memberikan Mentari pelukan hangat. Sangat lama dan erat. "Saya tau kamu sakit, tapi jangan mati."
"Jangan tinggalin saya lagi. Cukup kematian Senja yang buat semesta saya hancur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Film Out | Choi Beomgyu✓
Fiksi Penggemar❝Bumi dan Senja adalah kolaborasi alam semesta yang paling indah.❞ ©Puputt_09 2021