28. Keputusan dan keputusasaan

9.5K 595 128
                                    


***

SEMUA berawal dari suara gemercik air yang begitu kecil. Disusul dengan decitan pintu yang tak kalah pelannya.

Lilya perlahan mulai terbangun dari tidurnya. Mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali.

Jam berapa sekarang?
Apakah Adrian sudah mandi dan akan bersiap-siap untuk pergi ke kantor?

Ketika penglihatan Lilya telah sempurna, ia menemukan Adrian yang tampak sedang mencari sesuatu di dalam almari.

"Kak"
Adrian sontak menoleh, sedikit terkejut karena melihat Lilya yang telah terbangun. Padahal Adrian sudah berusaha sehati-hati mungkin supaya tidak menciptakan suara yang dapat mengganggu tidur Lilya.

"Kamu mau ikut?" ajak Adrian, dengan senyum.

Butuh waktu beberapa saat bagi Lilya untuk mengerti maksud ucapan Adrian. Lebih tepatnya, Lilya baru mengerti saat  mendapati apa yang baru saja diambil oleh lelaki itu. Sajadah.
Dan lelaki itu mengajaknya untuk sholat tahajjud.

Lilya mengangguk pelan. Ini adalah salah satu harapannya jauh sebelum menikah. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan karena bisa jadi ini kali pertama dan terakhir. Setelah mereka bercerai Lilya tidak bisa mengharapkan hal yang sama.

Lilya bangkit, rasanya memang sudah tak seringan dulu sebab usia kandungannya yang sudah semakin besar. Ia bersiap-siap dan Adrian dengan setia menunggunya.

Mereka menunaikan sholat, sempat berdoa bersama, sebelum akhirnya hanyut dalam suara hati masing-masing.

Adrian memejamkan mata. Ada alasan, mengapa ia ingin sekali menghadap Tuhan di waktu yang istimewa ini. Ia mengingat nasihat Raven tempo hari. "Hati cuma satu, Yan. Hati lo nggak mungkin menginginkan dua orang di waktu yang sama. Denger, pasti hati lo punya pilihannya"

Berkali-kali Adrian mencoba mendengar hatinya dalam kesunyian, namun segalanya tetap rumpang. Ia merasa satu-satunya jalan terbaik yang dapat ia lakukan ialah bertanya pada yang menciptakan hatinya, yang mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi.

Sementara Lilya, doa-doanya masih selalu sama. Semoga segala luka ini lekas usai, dan mereka bisa kembali pulang pada kebahagiaan.

Tanpa perlu saling melihat gerak-gerik satu sama lain, keduanya kompak menutup doa.

Adrian berbalik dan menemukan Lilya dengan kedua pipinya yang masih setengah sembab. Ia mencoba untuk tersenyum, sekalipun kenyataannya melihat Lilya menangis begitu melukai dadanya.

Lilya tahu, ia terlalu lancang karena meraih sebelah tangan Adrian, mencium punggung tangan Adrian. Setidaknya, detik ini Adrian masih suaminya, sudah menjadi kewajibannya untuk menaruh rasa hormat kepada lelaki itu. Selain itu, Lilya juga sangat merindukan Adrian, Lilya rindu berada dengan jarak sedekat ini dengan ayah Al.

Pada saat Lilya mencium punggung tangannya dengan lembut, Adrian teringat akan kenyataan yang mutlak, Lilya adalah istrinya. Dan saat ia merasakan air mata Lilya jatuh menyapu kulitnya, Adrian sadar, selama ini Lilya sangat tulus kepadanya, kepada pernikahan mereka.

Tak kuasa untuk terus diam, Adrian meraih sebelah pergelangan tangan Lilya, membawa perempuan itu ke dalam dekapannya. Membiarkan Lilya menumpahkan isaknya di dalam sana.

Sama halnya dengan Lilya, Adrian pun tidak mampu membendung perasaannya. Ia mendekap erat Lilya, menciumi puncak kepalanya.

Tetapi melalui pelukan mereka ini, Adrian yakin, Lilya bukan hal kecil dalam hidupnya.

***

Lilya sedang bersama Aila sekarang. Keduanya berada taman untuk mengerjakan tugas bersama. Untungnya, di kampus mereka terdapat beberapa spot nyaman untuk belajar seperti di tempat ini, telah disediakan beberapa meja lengkap dengan kursi kayu panjang.

𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝, 𝐌𝐲 𝐄𝐱 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang