7. ikatan-ikatan

6.5K 449 53
                                    

****

PELAN, kedua kaki Nala melangkah masuk ke dalam ruang kerja papanya. Ruangan berukuran cukup luas yang di bagian sentralnya terdapat meja yang dilingkupi sofa, layaknya ruang tamu. Pada salah satu sisi tembok terdapat sebuah rak hitam besar, tempat untuk menyimpan berbagai koleksi buku milik papanya. Tidak hanya buku, sebab pada bagian paling atas, piala-piala milik Lilya disusun dengan rapi.

Nala tersenyum kecut. Hampir di setiap sudut rumah mereka bukti prestasi Lilya  terpampang dengan nyata. Entah itu di ruang tamu, ruang keluarga, kamar orangtuanya, bahkan ruang kerja papanya pun dipenuhi piala Lilya. Terlalu banyak yang telah Lilya capai selama ini dan orangtuanya terlihat sangat bangga akan hal itu. Keduanya selalu menceritakan Lilya kepada siapapun yang mereka temui.

Mereka melupakan Nala dengan beberapa piala kecilnya yang selama ini susah payah ia kumpulkan dengan keringat. Jatuh bangun hingga kedua kakinya tekilir semuanya tetap tidak berarti. Tidak ada orang yang menanyakan bagaimana dengan perlombaannya, di mana pialanya.

Rasa kecewa bahkan membuat Nala pernah membuang semua pialanya. Hingga dengan baik hati  tangan kecil Lilya memungutinya, menyimpan piala-piala itu di kamarnya.

Sejak kecil, Nala sadar, ia berbeda dengan Lilya. Sekeras apapun ia berusaha, ia tidak akan bisa seperti Lilya. Nala hanya bisa menari, bukan berhitung dengan cermat. Nala hanya bisa menulis bukan berbicara di depan orang banyak.

 
Kedua orang tuanya memang mencintainya, tetapi tidak pernah membanggakannya. Mereka lebih bangga memiliki Lilya, bukan dirinya.

"Nala"

Dengan cepat Nala menghapus air di kedua sudut matanya. Berbalik untuk menatap ke arah papanya.

"Kamu cari papa?"

"Iya pa, makan malamnya sudah siap, Mama udah nunggu"

"Iya, nanti papa nyusul. Papa mau telfon Lilya dulu ya, takutnya dia belum makan"

Nala tersenyum semu, menganggukkan kepalanya pelan.

Bahkan untuk urusan makan, Lilya tetap menjadi pemenang.

***

"Aku mau ayah, bunda… Ayah!"

Adrian tidak tahu mengapa tiba-tiba ia berada di area stasiun, di sebelah pundaknya tergantung sebuah ransel hitam yang lumayan terasa berat.

Dari atau akan kemana dirinya Adrian tidak tahu. Ia benar-benar bingung sekarang, terlebih saat kegelisahan mendadak muncul di dalam hatinya. Kegelisahan yang semakin lama terasa semakin menyiksa.

"Ayah!"

Adrian tahu tidak seharusnya ia menoleh saat mendengar teriakan itu, ia bahkan belum menjadi seorang ayah. Namun entah mengapa leher dan kedua bola matanya bergerak dengan begitu saja, seolah berusaha menemukan.

"Aku mau ayah, bunda… Ayah!"

Tak lama setelahnya,  Adrian berhasil melihatnya, seorang gadis kecil yang sedang menangis di hadapan seorang perempuan yang tidak bisa Adrian lihat dengan jelas wajahnya. Namun anehnya, Adrian merasa sangat familiar dengan postur itu.

Gadis kecil itu masih terus menangis dengan kencang, terdengar  begitu pilu di kedua telinga Adrian.

Siapa dan kemana ayah gadis kecil itu? Apa ayah dari gadis kecil itu baru saja pergi dengan kereta?

Bagaimana bisa seorang Ayah meninggalkan putrinya yang terlihat begitu manis juga sangat menyayanginya?

Demi alasan apapun, jika Adrian ada dalam posisi lekaki itu, Adrian tidak akan pernah meninggalkan darah dagingnya.

𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝, 𝐌𝐲 𝐄𝐱 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang