9. Janji dan Luka

7.2K 505 77
                                    


***

Belajarlah dari yang lalu, jangan ragu untuk melangkah maju. Adrian sudah menanamkan pemikiran itu jauh sebelum hari ini datang.

Pengalaman-pengalaman gagalnya dalam urusan bisnis tidak boleh menjadi suatu kelemahan, tapi sebaliknya, harus menjadi kekuatan, modal yang begitu besar. Tidak semua orang berkesempatan untuk berproses dari nol, untuk berjalan sendiri pada setapak yang ia kehendaki.

Langkah kaki Adrian terhenti saat ia melihat pundak yang terlihat tak asing baginya, yang kini menempati meja yang akan menjadi tempat janji temu.

Tidak mungkin.

Mengapa keadaan selalu pandai menjebaknya?

"Pak Adrian"
Sapaan itu terpaksa membuat Adrian mendekat. Sekaligus membuat Alex menoleh.

Pandang dua kakak beradik itu sempat bertemu untuk sekian detik.

"Selamat malam"

"Selamat malam"

"Jadi ini yang akan menjadi kompetitor saya?"

"Benar Pak Alex, kami hanya akan merima satu tawaran, dan dikarenakan perusahaan anda masing-masing memiliki kelebihan yang patut diperhitungkan saya adakan pertemuan ini"

"Sama sekali bukan masalah. Saya tidak pernah takut kalah" ucap Alex, dengan senyum penuh percaya dirinya.

Adrian tau, saudaranya itu tengah menertawakannya di balik bingakai senyum. Dan bohong jika dadanya tidak terasa panas.

"Perkenalkan, saya Alex Danurja"

Adrian tersenyum semu, meraih uluran tangan Alex.
"Adrian, senang bisa bertemu anda"

Alex mengangguk, tersenyum puas. Menggunakan nama Danurja saja Adrian tidak mampu, apalagi menjadi kompetitornya?

Adrian pasti akan mati kutu.

***

Soekarno-Hatta, pukul sebelas siang. Di tengah kerumuman, Lilya berusaha mengatur nafasnya pelan.

Kondisi tubuhnya yang belum stabil, ditambah teratasnya kapasitas udara sebab ramainya suasana membuat Lilya ingin pinsan rasanya.

Lilya langsung mendekat ke arah kursi tunggu, mengambil duduk untuk mengistirahatkan diri sejenak. Sepasang kakinya sudah terlalu lemas, Lilya tidak ingin memakannya.

"Kamu capek ya?" lirih Lilya dengan sebelah telapak tangan yang berada di atas perut datarnya.
Menurut apa yang telah ia baca, perempuan hamil sebaiknya tidak naik pesawat sebelum usia kandungannya empat belas minggu untuk menghindari mual sekaligus menunggu kondisi fisiknya kuat. Namun karna keadaan Lilya tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Dan benar saja, ini membuatnya cukup menderita, mungkin hal serupa juga dirasakan oleh calon anaknya sekarang.

Lilya mengalihkan pandangannya ke sekeliling, kini kenangan terkahirnya tentang bandara adalah Adrian, bukan lagi dekapan hangat keluarganya setelah lama tidak berjumpa.

Andai saja hari itu Adrian bukan orang yang menjemputnya, semua mungkin masih terasa sama.

Ia duduk di kursi ini, menggenggam erat paper bag berisi oleh-oleh dengan senyum. Berteriak seraya melambaikan tangan girang saat mendapati sosok Papa atau kakaknya, Nala. Tidak seperti sekarang, jantungnya berdegup cepat, ia takut sekaligus malu untuk bertemu dengan orang-orang tercintanya.

"Sayang"
Lilya kenal suara itu, oleh sebabnya ia langsung menoleh, mendapati kedua orangtuanya yang berdiri tak jauh dari hadapannya.

"Papa, Mama..."

𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝, 𝐌𝐲 𝐄𝐱 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang