Bab 4

9K 402 2
                                    

Sejauh apapun aku berlari, seakan ada benang merah yang terhubung di antara kami, sehingga selalu saja Dirga menemukanku dengan mudah. Aku tidak mengerti dengan laki-laki itu. Selain memiliki kekuasaan atas banyak wanita, dia juga memiliki kekuasaan lain yang tak kalah banyak. Harta, koneksi, wilayah. Aku seperti hanya berputar-putar dalam kandangnya. Tidak ada tempat bersembunyi. Aku hanya berada dalam salah satu permainannya yang keji.

Sampai pada akhirnya uangku habis, aku pun tidak dapat kabur kemana-mana lagi. Lagipula, untuk apa? Dirga selalu menemukanku. Aku yang terbiasa bebas, tanpa kekangan, ibu bukan tipe orang tua proktektif, kini kurasakan betapa sempitnya duniaku dalam kukungan Dirga.

Ibu masih terpaku pada pikiran kolotnya untuk menikahkanku dengan pemerkosa sialan itu. Tentu saja aku kehabisan akal selain marah setiap saat dan menangis.

Tiga jam berlalu, aku telah menjadi istri sahnya. Aku tidak bisa merasa senang atau terharu. Melihat para tamu kelas atas yang berdatangan, makanan necis di nampan, dan dekorasi cantik menghiasi ruangan, aku justru semakin terbebani oleh perasaan ngeri. Laki-laki di sebelahku ini bukan orang baik dan sekarang aku miliknya utuh, aku merasa ini pilihan yang salah. Namun, sejak awal aku juga tidak dapat lari darinya. Jadi sebenarnya aku memang tidak punya pilihan.

Menelan pil pahit ini membuatku gila.

Seorang wanita berparas cantik dan elegan, tingginya melampauiku, datang dengan senyum mengembang. Ternyata dia adalah kakak Dirga, Raina. Dulu SMP, banyak yang bergosip bahwa keluarga Dirga merupakan keluarga dengan bibit unggul. Setelah menemui kedua orangtua Dirga dan Raina, kuakui gosip itu benar adanya.

"Kamu cantik sekali, Dirga tidak salah memilihmu." Aku hanya menunduk malu. Andai saja dia tahu bahwa aku hanya salah satu mangsa kecil yang menarik perhatiannya.

Kulirik Dirga dibalik tubuh kakaknya, dia sedang bercakap-cakap riang dengan tamu lain.

"Jangan sungkan padaku ya..." Dia mengedipkan sebelah matanya. Bahkan pesonanya sangat alami dan luar biasa. Setiap tamu yang lewat berbisik-bisik sembari curi-curi pandang, padahal akulah pengantinnya disini.

"Iya, Kak."

Dia tersenyum. Sangat berbeda dengan senyuman Dirga yang cocok disebut seringaian licik. Senyum Kak Raina tulus, matanya lurus menatapku sejernih kolam, dan sikapnya yang ramah membuatku nyaman berada di dekatnya. Tidak seperti Dirga yang justru menakutiku.

"Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian."

Ujung bibirnya tidak menyentuh mata. Seperti senyum yang dipaksakan, berbeda dari sebelumnya yang menyejukkan hati. Raut wajahnya perlahan menatapku dengan prihatin. Namun, ekspresinya dengan cepat kembali cerah.

Entah ini hanya firasat atau pikiranku saja yang sedang kacau, ucapan selamat itu hanya mengambang tanpa arti, basa-basi belaka.

Kak Raina pergi. Sepanjang hari itu aku harus menyapa banyak tamu yang tak kukenal, berpura-pura tersenyum bahagia, walaupun cahaya dalam hati kecilku perlahan meredup.

🔥🔥🔥

Aku berada di halaman rumahnya. Kulihat mobilku yang dibawa orang suruhan Dirga sudah sampai lebih dulu. Rumahnya besar sekali. Dengan gaya modern yang mewah dan megah, gerbang hitam menjulang tinggi, halaman luas dipenuhi tanaman cantik. Sekilas terlihat seperti istana. Namun posisiku bukan seorang putri, melainkan seorang tawanan.

Kedua kakiku kaku, tidak dapat melangkah memasuki rumah. Jika aku melangkah satu jengkal saja, aku akan terjebak bersama Dirga selamanya. Aku tidak mau. Aku ingin kabur dan menyesali semuanya.

"Ayo masuk," panggilnya mengejutkanku. Aku tertegun, susah payah kupaksakan kaki untuk melangkah masuk.

Begitu masuk, ada lima orang berpakaian santai ala asisten rumah tangga yang sibuk mengurusi debu. Salah satu di antaranya sudah tua, sekitar lima puluh atau enam puluh tahun, aku tidak terlalu yakin. Mereka menunduk patuh tanpa berani mencuri pandang, kecuali yang tua itu. Sepertinya dia diberi kewenangan lebih.

"Perkenalkan, dia Bi Suti. Dia ART senior di sini." Aku bertukar senyum dengannya. Suasana sedikit canggung karena aku tidak tahu harus menjabat tangannya atau tidak. "Yang lain, kamu akan jarang melihat mereka."

Dirga menggiringku ke ruangan lain, mengarahkanku untuk tur rumah. Rumahnya maskulin sekali, tidak ada sentuhan feminin sedikit pun. Warna didominasi oleh warna hitam dan putih. Monoton dan teratur. Tidak ada barang yang berantakan, semuanya tertata rapi. Seperti rumah yang dihuni sebagai sebagai tempat tidur saja.

Tiba-tiba, saat kami berbelok ke ruangan lain, seekor anjing berbulu hitam-cokelat pendek duduk dengan was-was. Dia memakai kalung rantai perak di lehernya. Bulunya mengilap seperti diolesi mentega, kedua bola matanya yang segelap kopi menatap seakan aku penjahat yang perlu diintrogasi. Kedua telinganya yang lancip berdiri tegak berjaga-jaga. Tubuhnya kokoh sekali dan gagah bagai seorang penjaga profesional. Otot-ototnya tampak kuat. Melihat gigi-giginya yang tajam, kuyakin itu dapat merobek daging dalam satu kekuatan tarikan.

"Milo, minggir."

Anjing berjenis Doberman Pinscher itu menepi dan menjulurkan lidahnya ketika Dirga sekilas mengusap kepalanya. Namun, anjing itu tidak mau melepaskan pandangannya dariku. Fakta yang meyeramkan bahwa aku harus serumah dengannya.

Di belakang, Milo terus membuntuti kami-lebih tepatnya aku. Hidungnya terus mengendus-endus tas dan ujung bajuku. Dia benar-benar tidak percaya bahwa aku ini orang baik.

"Kamu sendirian di sini?"

Dirga mengangguk. "Kakakku kadang menginap."

Yah, pernyataan itu cukup meringankan hatiku. Setidaknya ada seseorang yang kusuka di rumah super besar ini.

Tur akan menunjukkan sebagian kecil dari semua ruangan yang ada. Dirga hanya menunjukkan kamar kami lalu pergi. Katanya ada urusan. Anjing bernama Milo itu pun tak mau berlama-lama denganku dan pergi mengikuti tuannya keluar. Aku tidak mau mencampuri urusannya, jadi aku memilih mandi dan segera beristirahat.

🔥🔥🔥

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang