Santapan makan malam tersaji di meja, mengundang siapapun untuk tergiur oleh harumnya masakan hangat. Termasuk Dirga. Sayangnya, dia tampak tak suka melihatku berkeliaran di luar tanpa seizinnya. Seharusnya aku masih dihukum dalam kamar.
Sebelum kekesalannya bertambah, aku menyambutnya pulang dengan ciuman dan senyum bahagia. Akhirnya dia menyadari riasan dan dress putih yang memamerkan kaki kurusku yang baru dicukur bersih. Namun, dia tak berkata apa-apa, hanya tatapan yang begitu lapar.
"Hari ini aku belajar masak lagi. Kamu coba deh."
Dirga hanya mengangguk. Dia menghilang sebentar untuk mencuci tangan. Kemudian, duduk di hadapan masakan yang wangi, ekspresinya tampak lebih ringan. "Kamu buat semua ini?"
Aku menggaruk-garuk tengkuk, malu-malu. "Dibantu ART juga."
Dirga hanya manggut-manggut. Banyak yang bilang perasaan dapat dimulai dari perut. Aku tersenyum dalam diam melihatnya mengambil lauk porsi besar. Bergantian aku mengambil nasi dan lauk pauk.
Masih dengan ekspresi datarnya Dirga menunjuk ke arah masakan ayam berkuah kuning, yang sebenarnya juga sudah mengguyur membasahi nasinya. Sebelum dia bersuara, aku mendahului, "Kesukaanmu."
Aku dapat melihat matanya berbinar-binar seperti anak-anak. Kini tidak lagi sekaku waktu datang.
"Teringat masa kecil?" pancingku tipis-tipis. Dia yang hendak menyuap kedua kali, meletakkan sendoknya kembali. Ada pergulatan batin di sorot matanya.
"Keluargaku bukan tipe yang seperti itu."
Raut wajah bingung sekaligus sedih terpasang otomatis. "Apa maksudmu?"
Dia kembali menyuap. Kali ini mengunyahnya lamat-lamat seolah memberi waktu dirinya mengulur waktu untuk menjawab.
"Orang tuaku terlalu ambisius," tuturnya setelah menelan nasi berkuah kuning. Lalu menegak segelas air putih sebelum melanjutkan. "Aku dan kakakku hanya alat penerus kekuasaan mereka."
Wow, aku tak menyangka Dirga akan seterbuka ini. Untuk pertama kalinya aku mendengar dia menceritakan secuil latar belakangnya.
"Tapi sekarang kamu bisa berdiri sendiri, Dirga."
Aku tersenyum lembut padanya. Lihatlah, anak yang kalian besarkan, sekarang tumbuh menjadi bajingan yang menyengsarakan banyak orang, banyak anak di bawah umur.
"Ingat dulu waktu SMP? Kita jauh dari kata akrab."
Aku berusaha mengganti topik, sebab sepertinya Dirga tak nyaman dengan topik keluarga dan aku sama sekali tidak membutuhkan kisah sedih masa kecilnya yang kurang kasih sayang.
"Bukan aku yang selalu menghindar," sahutnya. Nada suaranya terdengar usil, jauh lebih ceria.
"Itu karena kamu biang masalah." Bahkan sampai sekarang.
Dia tertawa, secara tak langsung mengakui perbuatannya. Percakapan kami terus berlanjut membicarakan masa lampau semasa SMP yang kebanyakan seperti kucing dan tikus. Secara terbuka dan terang-terangan dia menunjukkan senyum dan tawanya lebih banyak.
"Aku belum pernah melihatmu bermain bersama Milo."
Aku meringis. "Aku takut anjing." Aku tidak berbohong. Aku memang takut dengan anjing, kecuali Milo setelah mengenalnya. Dia anjing yang baik, hanya penampilannya saja yang seram.
"Lain kali coba main dengannya."
Walaupun Dirga memberi lampu hijau, aku tidak mau mengakui sudah dekat dengan Milo sejak lama. Bagiku, isi hati Dirga sulit ditebak. Aku tidak mau menunjukkan celah, apalagi berkaitan dengan Milo.
Makan malam sudah selesai. Suasana hatinya benar-benar gembira begitu beranjak pergi dari duduknya. Namun, sesaat kemudian, dia memicingkan mata dan kakinya sempoyongan nyaris tak mampu menopang berat tubuhnya.
"Dirga, kamu kenapa?"
Aku menangkap tubuhnya yang hendak jatuh menabrak sudut meja. Uh, berat sekali.
"Kamu terlalu sibuk kerja ya? Ayo aku antar ke kamar. Kamu harus banyak istirahat."
Dirga hanya mengangguk lemah sembari memegangi kepalanya yang pening. Dalam hitungan detik, kesadarannya benar-benar lenyap. Seratus persen berat tubuhnya dengan pasrah mengandalkanku. Tangannya terkulai lemas. Aku berusaha menangkap tubuhnya sebelum merosot ke lantai dan semakin menyusahkanku.
"Dirga? Dirga?"
Tidak ada jawaban. Aku menepuk-nepuk pipinya, tetap bergeming.
"Dirga, kamu pasti kelelahan."
Susah payah aku rangkul tubuhnya agar tak jatuh, berjalan keluar ruang makan. Bukan menuju kamar, melainkan ruang bawah tanah.
🔥🔥🔥

KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Bara
Mistero / ThrillerBerawal dari alkohol, Keila terjebak dalam labirin kesengsaraan yang dibuat laki-laki itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada ampunan. 🔥🔥🔥 Mengandung banyak konten negatif yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca. ⚠Trigger Warning⚠ Toxic...