Bab 30

2.2K 164 10
                                    

Maaf kalau ada typo atau tata bahasa yg aneh karena revisinya ngebut

❗❗❗
Agak mature.

🔥🔥🔥

Sejauh mana hubungan kami membaik? Bahkan kata membaik terlalu rendah untuk menggambarkan kedekatan kami sekarang. Sejak kamarku bergabung kembali dengannya, aku harus berserah diri memejamkan hingga membuka mata dengan pemandangan sosoknya. Untuk beberapa malam dan pagi, aku terkejut. Kukira aku berada di antara mimpi buruk yang lain. Memang benar buruk, tetapi Dirga tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyiksaku lagi. Apa ini tanda aku berhasil meluluhkannya? Apakah kedepannya akan mudah memperdayanya?

Demi hasil yang lebih memuaskan, aku harus mengambil langkah berani. Tak ada jalan memutar balik karena di hadapanku sekarang disuguhkan megahnya gedung perusahaan Dirga. Dia pasti sangat kaget mendapati diriku datang ke kantornya dengan alasan klasik kejutan makan siang dari istri tercinta.

Sayang beribu sayang, kedatanganku tidak lagi kejutan karena di lobi aku sudah dicegat oleh satpam. Lalu, di meja resepsionis, statusku sebagai istri Dirga diragukan. Bahkan aku tidak diizinkan untuk memastikan lewat telepon kantor. Apa aku tampak seperti maniak yang mengada-ada? Inilah akibatnya tidak pernah menunjukkan diri sejak pesta pernikahan. Pasti wajah dan identitasku asing di sini.

Sebelum aku diusir dan berakhir malu, aku mencoba menghubungi Dirga melalui ponselku. Awalnya tidak diangkat. Kedua tanganku berkeringat dingin. Karyawan di meja resepsionis sudah bersiap memanggil satpam. Aku menelponnya lagi. Syukurlah, kali ini diangkat.

"Surprise! Aku ada di kantor kamu sekarang," ucapku seriang mungkin sembari melirik ke arah meja resepsionis yang jengah tak percaya.

"Mau apa kesini?"

Bukan jawaban yang bagus, rasanya mau kutonjok. "Aku bawa sesuatu. Boleh kan aku ke ruangan kamu?"

"Boleh. Siapa yang larang?"

Aku tersenyum sambil memandang dia orang karyawan yang meragukanku itu. "Yang jaga resepsionis."

"Kasih HP-nya," sahutnya dingin.

Aku menuruti perintah Dirga. Sekarang wajah keduanya tampak panas dingin. Jelas sekali mereka takut. Saat ponsel menempel di telinga salah satunya, wajahnya langsung membiru pucat. Setetes keringat mengalir lambat di pelipis. Entah apa yang Dirga katakan, jelas membuat mereka langsung bersopan santun dan memberikanku akses sepenuhnya tanpa hambatan.

Dengan dampingan yang amat sangat membantu, aku melangkah ke ruangan Dirga. Kantor lumayan ramai lalu lalang karena sedang jam makan siang. Melihat situasi ini, aku jadi rindu bekerja. Andai Dirga tidak seenaknya memaksaku diam di rumah. Aku pasti punya pelarian dengan mengubur diri dalam tumpukan kerjaan.

Sekretaris yang sibuk dengan makan siang cantiknya tersenyum ramah begitu mendengar ketukan sepatu hak tinggi milikku. Dia membukakan pintu sebelum pamit undur diri kembali ke mejanya.

"Siang, Dirga. Kamu belum makan?" tanyaku berbasa-basi.

"Kerjaan lagi banyak."

Dirga menarik pinggangku mendekat, lalu memberi kecupan ringan di pipi.

"Aku bawa makan siang buat kamu. Ayo makan bareng."

Matanya yang letih lesu berubah berbinar-binar saat melihat kotak bekal yang kubawa. Ya, Dirga, kamu harus menunjukkan ekspresi seperti anjing setia kepada majikannya, kepadaku, selamanya.

"Makanya berhenti dulu kerjanya, kita makan sebentar."

Kupikir dia menurutiku. Tangannya terulur mengambil tas bekal dan justru menyerangku. Sial, aku masih belum terbiasa dengan kebiasaannya yang suka mencium tiba-tiba.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang