Bab 11

5.3K 285 9
                                    

Aku bukan hanya tercebur ke kubangan lumpur, tetapi juga tenggelam didalamnya.

Begitu aku membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah langit-langit kamar. Bukan lagi kamar hotel, melainkan kamar dengan ranjang yang pas untuk tubuhku sendiri. Kamar ini terasa asing. Kain sprei putihnya terasa dingin dan harum deterjen. Aku panik dan segera keluar. Aku takut aku dibawa pergi entah kemana oleh Rico.

Begitu aku keluar kamar, aku mendapati diriku di lorong yang familiar. Aku menengok ke kanan dan kiri, mengamati tiap interior dan guci besar yang duduk di sudut. Ternyata aku berada di salah satu kamar tamu Dirga. Refleks, satu hembusan napas lega keluar. Walaupun rumah Dirga juga malapetaka, setidaknya aku tidak perlu melihat wajah Rico yang bajingan itu.

Dirga jahat sekali. Kupikir kesepakatan untuk berbaik hati itu hanya semata-mata untuk menghiburku yang kehilangan janin. Atau mungkin Dirga tidak pernah berminat menghiburku, hanya mempermainkanku seperti boneka bodoh. Kupikir Dirga mau membuka dirinya padaku, memperbaiki rumah tangga yang cacat ini. Ternyata justru dia yang selalu menambah luka, sedangkan aku dengan polosnya pasrah dilukai.

Aku segera mandi untuk membersihkan diri dari segala apapun tentang Rico yang menempel di tubuhku. Kunyalakan pancuran air, membiarkan semuanya hanyut ke dalam saluran air.

Air mata kembali mengalir di mataku yang sembab karena mengingat kejadian semalam. Kejadian itu terlalu mengerikan. Aku tidak sanggup memikul memori menjijikkan itu. Dirga yang kasar, sedangkan Rico dengan kelembutan berlebihan membuatku ingin muntah.

Mereka monster.

Tanpa sadar, kedua tanganku menggosok kulit terlalu keras sampai salah satu bagian tubuhku nyeri. Aku tidak peduli jika lecet, apalagi berdarah. Aku hanya ingin tubuhku bersih seperti sebelumnya. Namun semakin kugosok, semakin mencolok bekas-bekas tak kasat mata itu. Mereka seperti kotoran yang sudah hinggap di permukaan kulit dan perlahan menguatkan akarnya. Air mataku tumpah seketika. Bahkan jika kulit ini sampai terkelupas, aku tidak akan pernah bersih lagi. Aku sudah kotor.

Aku keluar kamar mandi dengan perasaan gagal membersihkan diri. Aku hanya harum sabun, kenyataan kotoran-kotoran yang mereka lemparkan masih menempel kuat.

Aku terkejut ketika mendapati lemari sudah diisi pakaianku. Aku juga telat menyadari bahwa barang-barang pribadiku juga sudah berpindah.

Ternyata Dirga sudah membuangku. Tentu saja, siapa yang mau sekamar dengan mainan yang baru saja dibagi bersama temannya? Aku tidak ingin menyetujui keputusannya, tapi pisah ranjang adalah pilihan terbaik.

Aku turun untuk mencari sarapan. Biasanya para asisten rumah tangga meninggalkan sarapan dingin di meja jika aku belum makan. Ternyata benar dugaanku. Aku segera makan tanpa nafsu. Sarapan buatan Bi Suti selalu enak seperti rumah, baru kali ini hambar di lidahku. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti makan.

Hari ini, seperti hari-hari yang lain, rumah sangat sepi. Dirga selalu pergi pagi, Milo biasanya masih tidur di kamar tuannya, para asisten rumah tangga jarang sekali menampakkan diri. Aku merasa seperti seorang diri di rumah ini. Aku bisa saja kabur.

Sebelum menikah, aku sering kabur, tapi selalu berhasil ditemukan entah bagaimana caranya itu terjadi. Setelah menikah, aku belum mencoba lagi. Aku sudah terlanjur pesimis. Sekarang tidak ada salahnya berusaha, mencoba sekali lagi di kesempatan emas ini.

Ya, aku pasti bisa kabur.

Aku memaksakan diri untuk makan agar perut terisi, lalu kembali ke kamar untuk mengemas. Aku hanya membawa beberapa potong pakaian, sikat gigi, sabun wajah, uang tunai dan kartu identitas. Aku tidak akan membawa ponsel. Aku belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya yang selalu gagal melarikan diri. Dirga tidak akan bisa melacakku tanpa ponsel.

Aku berjalan mengendap-endap sambil tengok kanan kiri. Ketakutanku akan Dirga yang tiba-tiba pulang, Milo yang bangun dari tidur lelapnya, tertangkap CCTV atau salah satu asisten rumah tangga memergokiku menggendong tas ransel.

Aku bisa gila hanya memikirkan kemungkinan terburuk dan merasakan jantungku yang juga ketakutan.

Akhirnya aku berhasil keluar rumah dengan mulus. Sekarang tantangan terakhir. Aku harus melewati CCTV luar, tukang kebun, dan satpam. Kulihat dari kejauhan satpam sedang tertidur di posnya. Itu bagus. Yang tersulit hanyalah CCTV dan tukang kebun. Aku menunggu tukang kebun menyelesaikan menyiramkan tanaman sampai berpindah tempat. Sembari menunggu, aku mencari titik buta CCTV dari kejauhan. Aku harus bisa kabur dengan mulus.

Aku berjalan nyaris menempel dengan dinding menuju satu-satunya jalan keluar dari rumah megah ini. Saat melewati pos jaga, aku merangkak dengan hati-hati. Jantungku nyaris keluar saat mendengar kasak-kusuk, kemudian kembali tenang. Mungkin satpam itu hanya ingin mengubah posisi tidur. Tinggal satu penghalang, yaitu gerbang yang super duper besar di hadapanku. Keringat dingin membasahi kening dan pelipis ketika aku berusaha membuka gerbang tanpa menimbulkan suara. Kudorong besi beroda itu sedikit hanya sampai tubuhku muat untuk menyelip.

Dan akhirnya... berhasil!

Aku menutup gerbang seadanya dan berjalan pelan sampai kira-kira cukup jauh untuk berlari dengan gaduh. Aku harus mencapai jalan utama untuk mencari taksi.

Hatiku senang bukan main. Walaupun ada rasa takut akan kembali ditemukan, setidaknya aku akan berusaha lebih ekstra untuk bersembunyi. Kurasakan denyut jantungku berdegup kencang penuh semangat. Sebentar lagi, aku akan terbebas seperti burung liar. Semoga saja keberuntungan berada di pihakku setelah semua kesialan yang menimpa.

🔥🔥🔥

Done!

Setelah ini, bakal update lumayan lama ya :) maaf... UAS udah di depan mata, aku mau fokus kesana dulu. Doain semoga semuanya lancar!

Have a nice day, readers! Lov u ❤ terimakasih untuk kesabarannya hahahaha

Sampai ketemu lagi di bab selanjutnya ✊✊

Thank you <3

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang