Aku memuntahkan semua sarapan ke toilet untuk yang kesekian kalinya. Tubuhku rasanya lelah harus seperti ini terus. Mengunyah, diam-diam memuntahkannya, dan tetap kelaparan karena hanya menipu perutku. Namun, aku ingin terlihat kembali nafsu makan walaupun Dirga belum pulang. Pasti ada seseorang, salah satu ART mungkin, melaporkan perkembanganku. Terlebih lagi setelah kejadian aku kabur, ruang gerakku menjadi sangat terbatas. Aku ingin Dirga berpikir bahwa aku memilih menyerah memberontak dan menjadi istri yang baik.
Omong-omong sudah tiga hari Dirga belum pulang. Bukan dia yang kukhawatirkan, melainkan Milo. Milo pergi bersamanya dan sudah tiga hari belum kembali. Si psikopat yang nyaris membunuhku pun tidak tahu sudah tewas atau sekarat. Apa yang mereka lakukan? Aku tidak tahu dan mau tahu. Tidak peduli kedua bajingan itu lakukan di luar sana, aku hanya mengkhawatirkan Milo. Dia anjing yang terlalu baik untuk tuan sejahat Dirga dan kenalan sekejam Rico.
Para ART dan supir sepertinya juga tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Sebab, permintaanku tentang tongkat belum juga tersampaikan. Daripada menunggu tongkat yang sebenarnya bisa kubeli sendiri, aku mengisi waktu dengan belajar berdiri dan berjalan. Walaupun masih tertatih-tatih, kakiku baik-baik saja. Kursi roda tidak lagi kupakai sejak hari kedua kepulanganku dari rumah sakit.
Aku sudah dapat berjalan lagi, tetapi itu tidak menutupi kesengsaraanku. Gara-gara luka jahitan di paha ini, aku hanya bisa membasuh muka dan sikat gigi. Sisanya tubuhku di lap basah untuk menghindari airnya mengenai jahitan. Padahal bisa saja aku lebih berhati-hati, sayangnya ART senior yang dipercayai Dirga tidak mengizinkanku. Terpaksa aku hanya mandi kering. Rasanya sama sekali berbeda dengan mandi di bawah kucuran air langsung.
Nanti siang aku ada jadwal kontrol jahitan dan mengecek lebam-lebam yang semakin menghitam dan ngilu bila aku merebahkan diri. Entah sampai kapan penderitaanku akan berakhir. Seolah-olah mental saja tidak cukup, fisikku juga ikut menyakitiku.
"Selamat pagi, Pak."
"Pagi, Nyonya."
Aku menghampirinya yang sedang menikmati biskuit dengan segelas kopi hitam. Aku pun duduk tak jauh darinya. Pak supir tampak enggan berkomentar meski raut wajahnya tak nyaman duduk berdekatan dengan nyonya rumah. Ia justru menawarkan sekaleng biskuit dan segelas air putih.
"Terima kasih," ucapku nyaris saja kegirangan. Sarapan biskuit cukup bagiku setelah memuntahkan sarapan yang sebenarnya.
Pak supir di hadapanku ini sangat irit bicara. Aku tidak tahu apa karena sifatnya yang pendiam atau dia hanya segan. Padahal aku berharap ada teman mengobrol.
"Saya mau berterima kasih soal waktu itu, Pak. Terima kasih sudah menolong saya."
Pak supir tersenyum. "Sudah menjadi tugas saya, Nyonya."
Sunyi lagi. Aku harus cepat mencari topik.
"Rumah sepi ya, Pak."
"Iya, kayak biasa."
"Omong-omong, bapak tahu Dirga kemana?"
Pak supir tampak terkejut dengan pertanyaan yang kuajukan. Yah, kalau aku jadi dia, pasti akan bereaksi sama. Pak supir tahu Dirga lebih awal, tahu tabiat dan sikap kejamnya padaku. Bisa dibilang pak supir sudah seperti satpam pribadiku.
"Tuan tidak bilang apa-apa. Beliau juga pergi sendirian dengan anjingnya."
Itu dia yang kukhawatirkan. Milo. Sudah beberapa hari tidak pulang membawa Milo. Dia bisa saja dalam bahaya dan tuannya yang bengis itu tidak akan punya hati untuk menyelamatkannya.
"Oh, begitu. Semoga jangan pulang lagi." Tapi Milo harus pulang, sambungku dalam hati. Pak supir hanya terkekeh. Aku tidak peduli pak supir akan mengadu dan menceritakan percakapan kami di pagi hari ini. Toh, sejahat apapun yang kukatakan, aku tetap berada di rumah, di sangkar emasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Bara
Misterio / SuspensoBerawal dari alkohol, Keila terjebak dalam labirin kesengsaraan yang dibuat laki-laki itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada ampunan. 🔥🔥🔥 Mengandung banyak konten negatif yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca. ⚠Trigger Warning⚠ Toxic...