Bab 15

5.2K 318 22
                                    

Happy reading! ^^

🔥🔥🔥

Selama beberapa hari aku hanya diberikan makan tanpa diperbolehkan melangkah keluar dari kamar. Karena terdapat kamar mandi dalam, aku dianggap tidak butuh keluar. Aku bahkan tidak melihat Milo sama sekali. Aku merindukannya, sangat.

Beruntungnya, Dirga tidak menunjukkan batang hidungnya setelah kali pertama aku siuman. Hanya asisten rumah tangga muda yang datang membawakan nampan dan datang lagi untuk membawanya kembali. Awalnya tidak kumakan sampai perutku melilit hingga tak dapat tidur. Namun lama kelamaan aku tidak mampu menahan rasa sakitnya lebih lama lagi, lagipula aku butuh tenaga. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu lagi tujuan untuk hidup.

Pagi ini berbeda. Setelah mengantarkan sarapan, ART muda memberitahukanku untuk segera bersiap. Setelah kurang lebih sejam aku hanya termenung tidak mematuhi perkataannya, aku dipaksa masuk ke kamar mandi dan menyalakan pancuran air tanpa menunggu perintah.

Setelah berpakaian ala kadarnya, aku dituntun menuju luar rumah. Sinar matahari langsung menyapaku. Rasa hangatnya meresap lembut seolah merindukanku. Belum sampai berpuas-puas menikmati siraman sinar matahari, aku masuk ke dalam mobil yang dingin dan berorama kopi.

Pak supir melirik sekilas ke arahku, tapi aku hanya diam tak menanggapinya. Pantulan wajahku di jendela mobil tampak menyedihkan dan tak hidup. Aku bahkan tidak mengenali diriku sendiri. Siapa perempuan yang ada di pantulan itu? Kisut, lesu, dan sayup. Hidupnya pasti seperti di neraka.

Atau bahkan lebih parah.

Aku hanya melamun sepanjang jalan sampai tak sadar mobil sudah berhenti di suatu tempat. ART muda menarikku, memaksaku berjalan ke bangunan tiga lantai berwarna ivory itu. Aku tidak tahu bangunan apa karena terlalu malas untuk menaruh perhatian.

Aku tidak ingat apa yang terjadi, aku hanya ingat aku bersandar di kursi berbantal empuk warna hitam. Seorang wanita bercakap-cakap ringan berusaha akrab denganku yang kehilangan fokus. Seakan lelah denganku yang membisu, dia hanya melaksanakan pekerjaannya dengan telaten. Helai tiap helai rambut dijepit, digulung, digunting. Ya, lakukan sesukamu. Diriku sudah terlanjur sulit dikenali, ubah saja sekalian.

"Cantik sekali," puji ART muda dengan wajah riang, lalu kembali senyap ketika tatapan matanya bertemu denganku yang tak terlihat bahagia sama sekali.

Aku menoleh kearahnya, dia langsung menunduk sembari memilin jari jemarinya.

"Siapa namamu?"

Dia mendongak, ekspresi terkejut seakan tak mengira aku akan bertanya demikian.

"Dina, Nyonya."

Aku ber-oh ria. "Saya jarang melihatmu."

Setelah sesi potong rambut selesai, aku digiring kembali ke mobil. Kukira sudah selesai ternyata aku dibawa ke tempat lain. Kali ini ke sebuah butik pakaian ternama. Aku diajak berkeliling untuk membeli pakaian baru yang indah. Namun, aku tak berselera.

"Tolong dipilih, Nyonya. Saya bisa kena marah nanti," ucap Dina dengan memohon. Sorot matanya menggambarkan kekhawatiran sekaligus ketakutan. Aku tidak tega membayangkan dirinya yang dicaci maki oleh Dirga hanya karena aku. Sambil melihat-lihat, Dina terus membuntutiku sesekali menawarkan pakaian yang menurutnya bagus.

"Itu saja," ucapku pada akhirnya. Dina tersenyum lega kemudian memanggil seseorang untuk membantuku mencobanya.

"Tidak usah," tolakku dengan halus, kemudian memberitahukan ukuranku tanpa mencobanya terlebih dahulu.

Setelah membeli pakaian, aku juga diajak ke toko kosmetik, lalu toko perhiasan.

"Nyonya mau kemana lagi? Mungkin mau beli sesuatu?" Aku hanya menggeleng. Sudah cukup semua belanjaan ini. Aku merasa hariku sebagai boneka kesayangan yang cantik jelita akan segera datang.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang