Bab 3

11.7K 510 4
                                    

Koper sudah siap. Aku tidak bisa membawa semua pakaianku dalam satu koper, sehingga hanya beberapa potong pakaian formal dan pakaian rumahan. Sisanya akan kuambil jika sudah mendapatkan tempat tinggal baru. Selain koper, ada dua tas travel besar yang memuat barang-barangku. Tas satunya masih terbuka lebar karena semalam aku terlalu lelah dan akhirnya memilih tidur. Pagi ini aku akan melanjutkan berkemas.

Kutatap lama kamarku ini. Bukan kamar yang mewah atau luas. Hanya kamar berukuran 3x3 meter dengan dinding bercat putih biasa yang tampak usang. Sejak aku lahir, rumah inilah yang pertama hingga sekarang. Kini aku harus meninggalkannya, meninggalkan ibu juga.

Tak kusadari, air mata bergulir turun membasahi pipi, lalu menetes ke lantai. Tak kusangka nasibku akan seburuk ini. Padahal aku selalu berusaha menjaga diri dan bersikap sopan agar tidak ada yang sakit hati dengan tingkah lakuku. Namun, sialnya aku kecolongan dengan seorang laki-laki bernama Dirga, si rubah licik. Aku jadi membenci diriku sendiri yang terlalu lemah terhadap alkohol. Andai saja waktu itu diriku masih dapat menguasai kesadaran dan akal sehat, aku pasti sudah mengamuk dan menjadi bahan omongan jelek di reuni. Itu jauh lebih baik daripada memiliki anak dari rubah itu.

Dadaku terasa sesak, pilu. Seperti ada yang melempar batu besar tepat di jantung, sehingga rasanya sulit bernapas. Pandanganku kabur oleh derasnya air mata. Kepala kembali pening oleh banyaknya pikiran yang merasuki.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Itu pasti ibu. Ini hari keempat. Kesempatanku tinggal di rumah ini sudah habis. Aku belum mengatakan apa-apa tentang Dirga, sehinga ibu masih belum tahu kebenarannya. Meski berat dan sedih meninggalkan ibu dan banyak kenangan di rumah ini, aku terpaksa harus pergi.

"Kamu sudah bangun? Ada tamu," ucapnya datar dari balik pintu. Aku terkejut. Pagi ini masih menunjukkan pukul sembilan sudah kedatangan tamu. Dan untuk apa aku dipanggil hanya untuk bertemu tamu? Pasti salah satu saudara jauh yang datang berkunjung. Aku paling tidak suka dengan tamu. Setiap kali menemani tamu, kemampuan bicaraku seakan berada pada mode tidur. Aku hanya diam saja, merasa canggung, tersenyum, dan menjawab ya atau tidak pada setiap pertanyaan basa-basi. Jujur saja, aku bisa bicara banyak di hadapan klien karena tuntutan pekerjaan. Pengecualian orang-orang yang sudah mengenalku karena aku akan menunjukkan sifat asliku yang lumayan cerewet. Untuk orang asing ada di kategori lain, aku mati kutu.

Kurasa karena itulah alasan aku sering dianggap sombong.

Pipiku perih karena aku menghapus air mata terlalu kasar. Kuamati wajahku lewat pantulan cermin. Ternyata cukup berantakan untuk mengundang komentar mengejek dari tamu. Setelah kukeringkan dengan selembar tisu dan menyisir rambut secepat kilat, muka bantal dan mata sembabku tidak terlalu kentara.

Kulangkahkan kaki keluar kamar menuju ruang tamu. Kakiku tiba-tiba terhenti ketika melihat yang bertamu itu. Disana kulihat orang yang kuharap terpeleset ke jurang. Dia duduk di salah satu sofa setelah ibu menyuruhnya, lalu disuguhkan segelas teh hangat dan setoples kue kering.

Untuk apa dia kemari setelah kemarin mempermalukanku di hadapan semua pengunjung kafe? Seharusnya aku pergi dari rumah ini lebih pagi.

Jika ibu tahu, ibu pasti tidak akan repot-repot menyambutnya masuk.

"Sini, Kei."

Aku tersadar dari lamunan. Ibu melambaikan tangannya agar aku dengan sopan menyambut tamu itu juga. Huh, menyebalkan sekali. Dia menyadari keberadaanku yang masih membeku dibalik rak kayu, lalu tersenyum. Bukan senyuman yang tulus, lebih mirip seringai binatang yang berhasil menangkap mangsa dalam kuku-kukunya yang tajam.

"Hai, Keila."

Ibu melotot, mengisyaratkan agar aku segera beramah tamah. Terpaksa aku menghampirinya dan duduk di salah satu sofa yang berseberangan dengan sofa yang didudukinya.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang