Bab 31

2.1K 182 31
                                    

Hari selasa.

Cuaca biasa saja, tidak terik maupun hujan. Tidak ada hadiah atau jalan-jalan. Hari selasa yang biasa kecuali satu, perintah Kak Raina untuk mencari ruang rahasia yang kucurigai adalah gudang bawah tanah.

Hari selasa. Pukul dua. Bagian terbawah dari rumah. Arah kanan. ART. Pintu. Cari pintu itu segera.

Deretan informasi penting itu masih segar di ingatanku. Aku tidak mungkin lupa.

Seperti hari normal lainnya, Dirga sudah berangkat bekerja. Meninggalkanku seorang diri di rumah megahnya bersama para ART, satpam, dan tukang kebun. Aku bersyukur memiliki waktu untuk diriku sendiri setelah akhir-akhir ini Dirga suka membuatku terjaga semalaman.

Saat Kak Raina menelpon berpura-pura menanyakan kabar, padahal membutuhkan bocoran situasiku, aku hanya bisa berkata aku dan Dirga jauh lebih baik. Kak Raina terdengar menginginkan detail lebih, tetapi tidak kuberikan. Kami mengalami perkembangan pesat saja sudah menjadi informasi yang cukup.

Aku menjelajah rumah, mencari tangga yang mengarah ke ruang bawah. Pencarianku sangat mudah karena sudah familiar dengan seluk-beluk rumah ini. Tiap sudut, tiap lorong, tiap ruangan, hampir semuanya kuketahui.

Akhirnya aku menemukan tangga yang mengarah ke bagian bawah rumah yang gelap dan lembab. Tangga tersebut sempit, terhimpit oleh dua ruangan terkunci. Nyaris saja terlewat kalau aku tidak teliti. Saking sempitnya, hanya muat satu orang. Jika seseorang yang memiliki bahu lebar seperti Dirga menggunakan tangga ini, pasti akan terasa sesak.

Aku jadi membayangkan bagaimana Rico diseret ke ruang rahasia dengan tangga sesempit ini. Dia bisa saja diseret dari depan selagi tak sadarkan diri.

Pencahayaan buruk selama aku menuruni tangga mulai membaik begitu ruang bawah tanah terlihat. Kelembaban semakin tinggi, cahaya dari lampu seadanya tidak begitu membantu menerangi lorong.

Aku berbelok ke kanan. Pandanganku begitu was-was mencari ART yang Kak Raina maksud akan menunggu. Namun, lorong itu kosong. Sunyi. Bahkan suara serangga kecil lewat pun tak ada. Aku hanya mendengar tabuhan jantungku sendiri yang menggila. Bagaimana ini? Bukankah seharusnya ada yang menunggu? Aku tidak mungkin salah ingat.

Di tengah kepanikan menyerang, suara langkah kaki yang berat datang mengisi keheningan. Jantungku bertalu-talu mengamuk. Dengan insting bertahan hidup yang segera memberi peringatan, aku melangkah cepat ke sudut gelap di sisi lemari. Aku memaksa diriku masuk, terhimpit antara lemari dan meja usang di pojokan. Aku merapat sedekat mungkin ke dinding, berharap menyatu dengan kegelapan.

Debu-debu sangat tebal, menggodaku untuk bersin barang sekali saja. Lantas aku menjepit hidungku dengan jari, menahan kemungkinan akan bersin. Aku tidak boleh ketahuan oleh siapapun yang sedang berkeliaran sekarang.

Suara sepatunya yang kian mendekat, perlahan kembali menjauh. Ternyata dia berjalan menuju tangga. Sama sekali tidak ke arah diriku yang sedang bersembunyi.

"Sudah kuurus."

Itu suara Dirga. Suaranya yang menggema di tangga terdengar dingin. Aku tidak tahu Dirga berbicara dengan siapa atau apa. Kuharap itu hanya urusan pekerjaan, tapi apa iya? Dia di lorong ini pada jam dua siang, di saat seharusnya dia ada di kantor.

Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran buruk yang membuatku mulas.

Lama kelamaan suara langkahnya menghilang tertelan jarak sehingga aku terburu-buru keluar dari persembunyian. Aku tak tahan dengan debunya.

Aku mulai berjalan lagi menyusuri lorong yang ternyata selain furnitur berdebu tadi, hanya ada dua pintu kayu kokoh walaupun penampilannya tak terawat. Aku mencoba membuka pintu yang pertama, tetapi dikunci. Debu di pegangannya terlalu tebal. Kurasa sudah bertahun-tahun tak ada yang menyentuhnya.

Pintu kedua. Aku beralih membuka pintu tersebut, ternyata mulus. Tanpa derit atau serat, pintu terbuka. Aku mengambil napas dalam-dalam sembari melangkah masuk. Namun, sayangnya tak ada apa-apa yang mencurigakan. Hanya ruangan dengan sofa yang ditutupi selembar kain putih, beberapa rak buku dengan buku-buku dan kotak yang entah apa isinya, segulung karpet tua yang disandarkan di dinding, dan satu karpet jelek usang berselimut debu yang dibentangkan di lantai.

Tunggu.

Ada yang janggal.

Lantainya kopong, setidaknya di suatu titik.

Aku mulai mengelilingi ruangan lagi, mencari kekosongan bawah lantai yang kudengar dari langkah kaki sebelumnya.

Pencarianku terhenti begitu kedua kakiku melangkah di atas karpet. Tanpa pikir panjang, aku menyingkap karpet usang tersebut. Ternyata karpet yang tebal sehingga sangat berat untuk kuangkat.

Karpet sudah teronggok di sebelahku, usai susah payah menyingkirkannya dengan napas terengah-engah. Dengan penerangan yang jelek, aku meraba-raba lantai yang terbuat dari kayu tersebut. Ada lekukan pada lantainya. Saat tanganku menyelip untuk membukanya, ternyata papan kayu tersebut merupakan pintu yang tersamarkan dibalik karpet. Aku menemukannya! Ini pasti ruang rahasia yang selama ini menjadi misteri.

Aku menyinari bagian dalam ruangan menggunakan senter ponsel. Bau lapuk yang pekat menguar menusuk hidung. Ada beberapa anak tangga menuju ruang bawah tanah kedua. Pantas saja penghuni rumah tidak ada yang mendengar apapun jika ada seseorang yang disekap sebab lokasi ruang rahasia ini terlalu dalam. Benar-benar penjara yang terisolasi.

Kayu-kayu menjerit ketika kakiku menginjak. Ditemani secercah cahaya senter ponsel dan nyali yang terpupuk karena rasa penasaran, aku memberanikan diri menuruni tangga yang berisik.

Akhirnya aku sampai di ruangan yang gelap gulita. Aku mencari saklar atau apapun untuk penerangan lebih baik. Pencarianku selesai ketika kepalaku menyentuh seutas tali tipis. Saat kutarik, tali tersebut tersambung pada bohlam kuning di langit-langit. Seketika sekelilingku menjadi jelas, meski masih remang-remang. Ruangan yang luas dan lembab. Ada dua buah kursi dengan noda kecoklatan, rak besi besar berkarat berisi perkakas, dan setumpuk barang-barang di pojokan seperti sampah.

Mengerikan. Aku tak mau membayangkan apa saja yang sudah Dirga lakukan di sini.

Aku harus menghubungi Kak Raina segera untuk menginformasikan ini. Namun sebelum itu perhatianku jatuh ada tumpukan lain yang tertutup kain kasar bersandar di dinding. Mungkin saja itu tumpukan barang tak berguna, tetapi tanganku sudah terlanjur terulur menarik kain tersebut.

Aku terpekik. Nyaris saja menjerit jikalau tanganku terlambat menutup mulut. Di hadapanku sekarang bukan tumpukan barang atau hal lainnya, melainkan manusia.

Seseorang yang kukenal hanya sekilas.

Dia pingsan dengan rambut acak-acakan karena keringat dan debu. Wajah dan pakaiannya dekil dan kusut seakan dia sudah mempertaruhkan nyawanya dengan melawan sekuat tenaga tapi gagal.

Dia adalah ART yang Kak Raina sebut-sebut. Dengan kondisi kotor dan kumal, kedua tangannya terikat kuat di punggung. Bahkan aku melihat rantai yang menjerat kakinya. Mulutnya dibungkam rapat menggunakan lakban.

Nyali dan rasa penasaran runtuh seruntuhnya. Kalau dia tertangkap, cepat atau lambat rencanaku dan Kak Raina akan terbongkar. Nasib kami bertiga tidak akan bagus. Habislah aku.

Aku melangkah mundur dengan gemetar. Ketakutan bercampur air mata yang hendak meledak membasahi wajah, menguasaiku sepenuhnya. Dirga akan tahu... Atau dia mungkin sudah tahu...

Aku menabrak sesuatu. Bukan dinding. Sesuatu yang lebih lunak dari dinding.

Seseorang.

"Kenapa istriku ada di sini?"

🔥🔥🔥

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang