Jika aku seekor kucing, kira-kira nyawaku tinggal tersisa berapa? Aku sudah lelah harus membuka mata untuk yang kesekian kali dan menghadapi kenyataan bahwa aku masih hidup. Kapan persediaan nyawaku benar-benar habis? Aku sangat menginginkan mati.
Aku tidak tahu harus berterimakasih kepada Pak supir karena datang sebelum terlambat atau menyesal karena telah menelponnya terlalu cepat. Mungkin seharusnya aku tidak mencoba mencari bantuan. Aku baru kepikiran bahwa mati di tangan bajingan sinting itu bukan ide yang buruk. Memang, kalau sudah panik dan ketakutan, otakku jadi lambat berpikir.
Aku menoleh ke samping ketika mendengar suara langkah kaki. Aku baru ingin bersuara ketika langkah kaki tersebut menunjukkan wujudnya. Bukan Pak supir, melainkan Dirga yang merah padam. Kedua tanganku refleks mencengkeram kedua sisi ranjang. Baru saja aku selamat dari ambang kematian, sekarang Dirga? Aku takut tapi berharap Dirga membunuhku saat ini juga. Entah dengan cara apa aku tidak peduli, asalkan minim rasa sakit. Lagipula aku sudah luka-luka, penuh lebam, dan seluruh tubuhku sakit. Aku tidak akan terlihat cantik lagi di matanya, jadi bunuh saja aku.
Dirga melihatku dari kepala, perlahan tatapan turun hingga kaki. Dia seolah-olah sedang memeriksaku tanpa menyentuh dan memindai semuanya dengan teliti. Lebam-lebam yang tidak bisa disembunyikan oleh pakaian, membuat Dirga semakin geram. Kemudian, tangannya terulur menyentuh paha bagian dalamku yang terbalut perban.
"Ini ulah si bangsat itu?"
Aku mengangguk dengan napas terputus-putus karena menahan rasa perih ketika jari jemarinya menyentuh bekas sayatan dalam yang sudah diperban rapi.
Dirga langsung berbalik tanpa mengatakan apa-apa lagi. Menatap punggungnya yang menjauh dengan hentakan langkahnya yang menggebu-gebu terbakar emosi membuatku semakin takut. Aku tahu Dirga tidak akan diam saja. Jelas sekali di matanya ada kemarahan yang tak dapat dideskripsikan karena seseorang telah merusak bonekanya. Meski begitu, aku tidak tahu Dirga akan bergerak sejauh mana untuk membalas dendam. Aku hanya berharap Rico si bajingan sinting itu mendapat balasan yang setimpal atau yang lebih parah.
"Mati saja kalian berdua."
Pak supir datang dengan langkah tenang seakan-akan tidak terjadi apa-apa, lalu memberitahu bahwa aku bisa pulang pagi ini. Aku menurutinya ketika dia membantuku duduk di kursi roda. Aku nyaris saja menangis karena perih luka di pahaku tidak berkurang sedikitpun, plus lebam-lebam hanya menambah kesengsaraan.
Aku diantar pulang ke rumah Dirga. Ketika kulihat mobil ibuku terparkir di halaman, aku langsung memanggil asisten rumah tangga yang kebetulan lewat tak jauh dariku.
"Ibuku datang?"
Pertanyaanku langsung diiyakan.
"Suruh pulang saja. Aku sedang ingin sendiri."
Perintahku itu langsung diberi anggukan patuh. Aku tidak ingin menjadi anak kurang ajar, tetapi semua ini terjadi karena ikut campur ibuku juga yang materialistis. Ibuku datang bukan murni karena khawatir, dia hanya takut kunci dari kekayaannya akan dibuang jika tidak mampu menjaga istri yang sempurna. Lagipula, setiap kami bertemu, kami hanya akan saling melemparkan amarah. Luka dan lebam sudah cukup membuatku ngilu, aku tidak mengharapkan adanya peperangan emosi.
Aku mengambil jalan lain agar tidak perlu melewati ruang tamu. Jalan berupa lorong yang saling menyambung dan terdapat banyak pintu ruangan yang bukan milikku.
"Milo ada dimana?"
"Nyonya lebih baik istirahat," ucap seorang asisten rumah tangga yang mendorong kursi rodaku.
"Milo dimana?" tanyaku ulang.
"Milo ikut bersama Tuan Dirga, Nyonya."
Aneh. Tidak biasanya Dirga mengajak Milo ke luar. Apa yang hendak mereka lakukan? Bukannya Dirga ingin membalas dendam? Apa Milo dibutuhkan untuk balas dendam? Jika itu benar, aku berdoa semoga Milo pulang dalam baik-baik saja. Aku menyukai anjing itu daripada diriku sendiri. Dia satu-satunya penyemangat yang kupunya. Tanpa dia, aku tidak tahu harus bersandar kepada siapa.
"Tinggalkan saya sendiri."
"Tapi nyonya butuh istirahat."
Aku menghela napas. "Tolong, tinggalkan saya sendiri. Saya bisa urus diri saya sendiri. Oh iya, saya butuh tongkat. Kursi roda tidak nyaman untuk saya."
Akhirnya aku ditinggalkan sendirian di depan pintu kamar. Samar-samar aku mendengar ibu yang mengamuk karena aku tidak mau menemuinya. Sepotong demi potong kalimat menyakitkan ditujukan padaku, seperti anak durhaka, anak kurang ajar, dan masih banyak lagi ucapan yang tak pantas didengar. Aku masuk ke dalam kamar dan menutupnya agar tidak perlu mendengarnya lebih lama lagi.
Sekarang aku tidak bisa bergerak leluasa. Aku juga tidak bisa mengobrak-abrik isi lemari Dirga atau mencari informasi terbaru di ruangan kecilnya lagi dengan keadaan seperti ini. Aku merasa tidak berguna padahal situasi sedang menguntungkan. Aku harus memikirkan cara lain. Aku tidak boleh bermalas-malasan karena seorang bajingan nyaris membunuhku semalam. Aku harus tetap bergerak demi bertahan hidup dan melepaskan diri.
Pergerakan fisikku terbatas, tapi tidak dengan otakku. Ya, aku bisa mulai dari situ. Aku sudah mengetahui semua letak CCTV dan titik butanya. Aku harus mengatur strategi dari yang paling dasar hingga rencana final, beserta rencana cadangan.
Aku mulai merasakan dentuman semangat dari dalam diriku lagi. Aku masih menginginkan mati, hanya saja keinginan itu mulai samar tertutup harapan baru. Aku ingin membalas dendam dengan caraku sendiri. Pertama-tama aku akan tetap berpura-pura menjadi istri penurut yang lemah. Dengan begitu, Dirga akan lengah sehingga aku bisa melancarkan aksi selanjutnya.
Aku harus bangkit demi diriku sendiri dan membalas dendam dengan kedua telapak tanganku. Tunggu saja pembalasan dendam dariku, Dirga. Kamu akan menyesal dan memohon ampun padaku.
🔥🔥🔥
![](https://img.wattpad.com/cover/271255526-288-k655736.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Bara
Misterio / SuspensoBerawal dari alkohol, Keila terjebak dalam labirin kesengsaraan yang dibuat laki-laki itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada ampunan. 🔥🔥🔥 Mengandung banyak konten negatif yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca. ⚠Trigger Warning⚠ Toxic...