Bab 6

8.5K 402 18
                                    

Berita buruk.
Aku masih hidup.

Aku tidak ingat sudah berapa kali aku 'dipakai'. Pertama kali sejak pernikahan kami, bajingan tengik itu memaksa dalam keadaan mabuk sampai tidak bisa tidur meski permainan sudah selesai. Perutku semakin kesakitan. Setelah itu, Dirga melakukannya dalam keadaan sadar, tetapi tetap saja memaksa.

Entah sudah kali berapa aku menangis. Terakhir pagi tadi sebelum Dirga bangun sampai mataku sebulat mata ikan. Dasar bajingan, rubah licik! Dirga menyadari perubahan mataku menjadi buruk rupa, lantas menamparnya hingga kini kedua kelopak mataku perih.

Dirga bukan hanya memperbudakku sebagai objek nafsunya, tetapi juga samsak hidup. Tangan kakinya sangat ringan untuk melakukan kekerasan. Benar-benar sifat asli seorang Dirga yang selama ini dipuja-puja para wanita di luar sana ternyata jauh lebih busuk dari dugaan.

"Nyonya, makan siangnya sudah siap."

Aku hanya mengangguk. Nafsu makanku hilang. Setelah kepahitan yang kulalui akhir-akhir ini, aku tidak mampu mengisi tenaga lagi. Yang kuinginkan hanyalah merebahkan diri di rerumputan, menatap langit biru yang teduh, mendengar kicauan burung, dan melihat kupu-kupu yang tiba-tiba datang menghampiri. Mitosnya jika kedatangan kupu-kupu akan ada 'tamu' yang datang. Aku tidak tahu pasti tamu apa yang dimaksud. Bisa berupa manusia, hewan, keberuntungan atau bahkan kesialan. Aku mengharapkan opsi ketiga.

Tiba-tiba perutku nyeri seolah ditendang dari dalam. Kandunganku terlalu belia, sudah pasti bukan karena tendangan kaki kecil. Kuyakin juga bukan rasa lapar. Ini tendangan kasat mata, tetapi sakitnya luar biasa. Seperti disayat-sayat. Aku berjalan tertatih-tatih masuk ke dalam rumah.

Seorang pelayan yang tidak pernah menampakkan wujudnya lagi setelah kedatanganku kemari, muncul tiba-tiba, lalu membopongku. Dia bertanya apakah aku sedang sakit, sudah makan belum, mau diantar ke rumah sakit tidak, dan lain sebagainya. Aku hanya menggeleng. Bi Suti datang dari arah dapur, sepertinya ingin menyuruhku agar segera makan, dia terkejut melihatku yang terkulai lemas dengan wajah pucat pasi. Bi Suti memerintahkan salah satu pelayan muda untuk mendudukkanku di sofa, kemudian ia pergi keluar dengan langkah tergesa-gesa. Milo datang menghampiri, memperhatikanku dengan manik matanya yang kecoklatan, kemudian menggonggong cukup keras. Aku tidak lagi peduli dengan ketakutanku terhadap anjing, rasa nyeri di perutku ini jauh lebih parah dan menyakitkan.

Bu suti datang dan menyuruh pelayan muda lagi untuk membopongku ke mobil. Katanya aku harus segera dilarikan ke rumah sakit. Kepergianku diiringi gonggongan Milo yang semakin lama semakin lirih. Sepertinya dia tahu aku sedang kesakitan lahir batin.

Pak supir langsung siap siaga mengantarku bersama Bi Suti ke rumah sakit terdekat.

Aku menggeliat, merubah duduk ke kanan dan kiri, mencoba mencari posisi yang nyaman. Namun semuanya serba salah. Aku tak kuasa menahan air mata dan menangis sejadi-jadinya. Bi Suti dengan suara keibuannya berusaha menenangkanku dalam dekapannya yang hangat.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku tak mampu melangkah sejengkal pun. Perutku terasa seperti diremas-remas, digiling, dan ditinju dalam waktu bersamaan. Bi Suti yang biasanya selalu tenang, kini menunjukkan wajah paniknya. Aku tidak dapat berjalan, kedua kaki gemetar hebat dan nyaris terjatuh saat Bi Suti hendak menuntunku.

"Saya tidak bisa, Bi." Keringat dingin membasahi wajahku. Rasanya benar-benar sakit. "Sakit..."

Pak supir akhirnya keluar dan menggendongku masuk ke rumah sakit. Aku tidak lagi melihat dengan jelas diriku dibawa ke ruangan mana. Pandanganku sudah mengabur, kepalaku berkunang-kunang nyaris tumbang, dan yang terparah adalah perutku yang meronta-ronta.

Akhirnya semuanya gelap. Aku jatuh pingsan dalam gendongan pak supir. Kudengar Bi Suti memekik kaget sebelum seluruhnya terasa sunyi dan tenang.

Mungkin sudah waktunya aku pergi.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang