Banyak tanggal yang dicoret tinta merah. Jika kuhitung, aku berhasil kabur selama dua bulan lebih empat belas hari. Mungkin masih terlalu singkat, tetapi bagiku ini sudah termasuk sebuah keberhasilan. Sebelumnya, aku tidak pernah berhasil kabur sampai seminggu. Dirga selalu saja bisa menemukanku dengan mudah.
Semoga saja ini pertanda baik.
Aku segera berpakaian rapi usai mandi. Air di desa benar-benar dingin. Saat malam seperti es, saat pagi seperti setumpuk es. Hanya pada siang hari air bersahabat. Meski begitu, aku menyukai udara di pagi hari yang sejuk. Aku merasa terlahir kembali ke dunia yang baru.
Omong-omong, aku mendapat pekerjaan. Aku bekerja di ladang. Memang bukan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, tapi aku menyukainya walaupun keringatku selalu bercucuran. Di awal-awal bekerja, aku sering sakit kepala meski sudah melindungi kepala menggunakan topi. Kulitku juga semakin gelap terbakar matahari. Aku tidak terlalu peduli tentang warna kulitku yang berubah, tapi aku tetap mengoleskan lotion agar kulitku tidak kering.
Selain pekerjaan, orang-orang desa menerimaku dengan sangat baik. Kami saling menyapa, bertukar senyum, dan tak jarang berbasa-basi diselingi tawa. Baru dua bulan, aku sudah dibuat jatuh cinta oleh desa ini.
"Mbak Ayu! Mbak!"
Aku segera menoleh, mendapati Bu Tirta berlari kecil menghampiriku. Aku masih belum terbiasa dengan nama panggilan Ayu yang kubuat sendiri. Nama Ayu kupenggal dari Keila Ayunindya. Masih mencolok tapi nama Ayu terlalu pasaran. Buktinya sudah dua bulan lebih aku aman disini sebagai Ayu.
Aku memangkas jarak agar Bu Tirta tidak perlu berlari lebih jauh.
"Ada apa, Bu?"
"Sekarang ikut bantu masak yuk. Anaknya kepala desa kan mau nikahan."
Satu-satunya rumah terbesar di desa ini—tapi standar jika dibandingkan dengan rumah di perkotaan—adalah rumah kepala desa. Anak laki-lakinya akan menikah hari ini. Sebenarnya sudah seminggu warga desa sibuk dan hari ini adalah puncaknya.
Seakan mengerti kebimbanganku, Bu Tirta berkata, "Ibu sudah izin ke Pak Hari. Katanya boleh."
Kalau bos sudah berkata boleh, aku mengiakan saja.
Alasan mengapa Bu Tirta mendapat izin dengan mudah karena beliau adalah adik kepala desa. Bisa dibilang Bu Tirta orang kedua terpandang di desa ini.
Langkahku pun berbalik arah menuju lokasi persiapan pesta bersama Bu Tirta.
Aku disambut banyak ibu-ibu dan beberapa wanita muda yang sedang sibuk mengaduk, memotong, dan mencuci. Aku segera mencuci tanganku dan membantu yang ada di dekatku.
"Kamu bisa motong-motong ini?" tanya seorang ibu setengah baya sambil menunjuk ke sayuran yang sudah dicuci bersih. Dari suaranya terdengar meragukan kemampuanku.
"Bisa, Bu."
Tanpa banyak bicara, aku memamerkan kemampuanku dalam memotong sayuran. Dengan riangnya dia memujiku dengan kata-kata yang menyakitkan. "Ternyata anak kota bisa di dapur juga."
Ibu itu mencuci sayuran, mengupas, kemudian menyerahkannya kepadaku untuk dipotong. Aku meniru potongan yang sama seperti potongan yang lain.
Di tengah kegiatan memotong sayur, aku melihat sekelompok anak muda melintas. Pikiranku langsung kacau balau. Tanganku perlahan melambat tanpa disadari. Mataku terus terpaku pada mereka. Siapa mereka? Mereka tampak asing. Bagaimana kalau mereka adalah orang suruhan Dirga? Tidak, tidak mungkin. Mereka sepertinya terlalu muda untuk melaksanakan pekerjaan kotor semacam itu. Tapi kemungkinan selalu ada.
Salah satu dari anak muda itu menoleh ke arah para ibu-ibu yang sedang sibuk membantu, ke arahku juga. Rasanya jantungku seperti ingin copot melihatnya bertukar pandang denganku.
"Mbak."
Aku terkejut, nyaris mengiris jariku sendiri. Aku segera mengalihkan pandangan dan kembali fokus. Namun ibu itu sudah mengetahui ke arah mana mataku terpusat.
"Oh, mereka," ucapnya dengan santai. "Mereka lagi KKN, Mbak. Biasalah."
Aku mengangguk, sedikit merasa lega karena sekelompok anak muda itu bukan ancaman. Mereka hanya mahasiswa. Ya, hanya mahasiswa. Aku tidak seharusnya ketakutan. Kuasai dirimu, Keila. Kamu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Aku pun kembali memotong dan terus memotong sampai jari-jariku pegal.
🔥🔥🔥
Sekelompok anak muda itu mengganggu pikiranku berhari-hari. Memang belum ada tanda-tanda yang aneh, tetapi tetap saja aku takut. Mereka berkeliaran di sekitar desa, membawa tas ransel dan peralatan untuk menguji air. Karena lokasi rumahku dekat dengan sungai, mereka mondar-mandir setiap saat. Setiap kali aku membuka mata dan memejamkan mata sebelum tidur, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mereka orang baik. Hanya mahasiswa biasa yang sedang mengerjakan tugas. Tapi nyatanya tidak bisa! Aku selalu was-was seperti kucing ketakutan.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Aku nyaris saja kehilangan nyawaku saking kagetnya. Sambil berusaha menenangkan jantungku yang tidak karuan, kubuka pintu setelah mengetahui itu suara Bu Tirta.
"Lagi istirahat ya, Mbak? Maaf ganggu ya, ini makanan dari syukuran Pak Hari. Semua pekerjanya dapat."
Aku tersenyum. "Terima kasih banyak, Bu Tirta. Jadi merepotkan ibu sengaja kesini cuma buat antar ini."
Bu Tirta tertawa kecil. "Iya, sama-sama. Kalau gitu ibu pamit pergi dulu ya."
"Sekali lagi terima kasih ya, Bu."
Setelah itu, aku segera menutup pintu rapat-rapat, menguncinya, dan menahannya dengan kursi. Itu kulakukan setiap hari hanya karena ketakutanku yang berlebihan.
Kubuka kotak yang Bu Tirta bawa menggunakan kantong plastik. Ternyata isinya setangkup nasi, ayam bakar ukuran besar, sayuran, sambal, kerupuk dan buah pisang. Aku tak akan sanggup makan semuanya malam ini juga. Jadi kubagi ayam jadi dua untuk kusisakan sarapan besok. Untuk sayuran kuprioritaskan karena takut terlanjur basi jika tidak segera dimakan. Aku makan dengan lahap seolah tiada hari esok. Perutku bersorak gembira merasakan daging ayam meluncur ke dalam lambung.
Aku kekenyangan. Aku sudah mencuci tangan, menyikat gigi, dan menyimpan sisa makanan untuk besok. Aku ingin berganti pakaian tapi masih terlalu malas untuk bergerak. Jadi aku hanya duduk termenung selagi mengumpulkan niat. Lambat laun kantuk mulai menyerang. Kupikir pasti karena aku makan sangat enak hari ini. Tanpa berganti pakaian, akhirnya aku jatuh terlelap di kursi.
🔥🔥🔥
![](https://img.wattpad.com/cover/271255526-288-k655736.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Bara
Mystery / ThrillerBerawal dari alkohol, Keila terjebak dalam labirin kesengsaraan yang dibuat laki-laki itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada ampunan. 🔥🔥🔥 Mengandung banyak konten negatif yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca. ⚠Trigger Warning⚠ Toxic...