Akhirnya playlist untuk cerita ini jadi! 👏
Siapa tau jadi lagu favorit baru hehe...
Happy reading!
🔥🔥🔥
"Sial!"Hariku berantakan oleh sakit kepala yang tidak berhenti sejak kemarin. Padahal hari ini aku ada meeting penting dengan klien. Dibalik pakaian formal, di punggungku ini sudah ditempeli banyak koyo. Walaupun panas asalkan pegal-pegalnya berkurang.
Aku harus bisa melawan sakitku sebentar saja. Mengurusi satu klien tidak akan memakan banyak waktu. Untung saja ditemani dua rekan kerja dalam pertemuan klien, sehingga aku tidak perlu bekerja terlalu ekstra.
Pertemuan ini berlangsung kurang lebih dua jam, membicarakan ini itu, dan tampaknya klien tertarik. Pertemuan diakhiri dengan jabat tangan disertai senyuman.
"Kamu sakit?" tanya Dinda, setelah klien pergi.
Kuraih ponsel di saku blazer untuk melihat wajahku sendiri di pantulan layar. "Memang kelihatan ya?"
Dinda menggeleng. "Udah ketutupan make up. Cuma biasanya kamu ceria, ini sayu."
Aku ber-oh ria. Walaupun lebih sedikit bicara, setidaknya wajahku tampak berseri berkat make up.
Dinda menawarkan untuk makan siang dulu sebelum kembali ke kantor, tetapi aku menolak. Aku ingin segera kembali dan duduk di bawah mesin pendingin sampai waktu pulang tiba. Lagipula aku membawa bekal, sayang jika tidak dimakan.
Aku kembali ke kantor menggunakan motor matic. Jalan raya ibukota cukup ramai karena sudah memasuki waktu makan siang. Banyak pengendara dan pejalan kaki berseliweran.
Di tengah kepadatan jalan, aku mengendarai motor dengan kecepatan standar, tak jauh di depanku ada truk besar berjalan berlawanan arah di sisi kanan. Aku biasa saja, tidak ada perasaan buruk apapun, tiba-tiba muncul motor mengebut dari balik truk. Sepertinya tidak sabar dan dengan sembarangan menyalip truk. Aku terkejut bukan main. Sebelahku ada kendaraan lain, aku tidak bisa membanting stir. Dalam hitungan detik, kurasakan dentuman hebat menghantam bagian depan motor. Tubuhku terasa ringan, melayang di udara. Kemudian, aspal keras membentur tulang, aku terguling-guling di jalan. Sekujur tubuhku nyeri dan ngilu. Beruntung kepalaku masih utuh karena helm membungkus erat.
Sekitar mulai heboh. Beberapa orang berteriak, "Awas, ada kecelakaan!" Ada juga yang berkata, "Panggil ambulans!" Banyak pengendara maupun pejalan kaki yang berhenti untuk menolong dan menonton. Aku tidak tahu nasib pengendara sembrono itu. Bahkan aku tidak tahu kondisi motorku sekarang. Tas tanganku berada tak jauh, tetapi tak mampu kugapai.
Perlahan, detik demi detik, kehebohan itu mulai memudar karena kesadaranku melayang entah kemana. Suara hiruk pikuk kepanikan berangsur-angsur meredup. Lalu semuanya menjadi gelap dan sunyi.
🔥🔥🔥
Aroma antiseptik yang tajam menusuk indera penciuman. Samar-samar yang kulihat hanyalah dinding putih, kutengok samping ada tirai pembatas berwarna pucat. Di ujung ruangan, ada perawat yang sedang mencatat sesuatu. Kedua kaki tanganku tidak terlalu sakit lagi, meski masih nyeri jika digerakkan tiba-tiba.
"Kei," panggil seseorang yang sangat akrab di telingaku. Dia ibuku. Ia sangat khawatir dan raut wajahnya penuh kesedihan. "Dokter, Keila sudah bangun."
Seorang dokter berusia empat puluh tahunan datang untuk memeriksa keadaanku. Kemudian mengatakan bahwa aku baik-baik saja kepada ibu, dan menjelaskan kepadaku bahwa aku hanya mengalami beberapa luka ringan, memar dan pergelangan kaki terkilir. Kutanyakan kondisi pengendara motor yang menyalip itu, beliau hanya menggeleng. Oh tidak, berita buruk.
"Oh iya, saya lupa satu hal," ucap dokter itu dengan nada statis, seakan sudah terbiasa menyampaikan berita buruk maupun berita bahagia.
"Beruntungnya, janin Anda selamat."
Jantungku tiba-tiba berhenti, jatuh dari tempatnya berada. Seseorang seperti telah melemparkan batu bata ke kepalaku. Ibuku pun berekspresi sama. Matanya membulat terkejut.
"Tapi anak saya belum menikah," jawab ibuku berusaha santai, tetapi nada suaranya serak penuh sesak. Aku pun menimpali, "Mungkin dokter salah pasien."
Kini, kening dokter itu yang berkerut. Kami bertiga sama bingungnya. "Maaf, tapi usia kandungan Anda sudah enam minggu."
Dokter itu undur diri, pergi menjauh setelah memberitahukan berita aneh yang tak masuk akal, seolah-olah sedang kabur menghindari perang.
Aku? Hamil? Dengan siapa?
Ibu sudah menatapku dengan tatapan marah, sedih bercampur kecewa, yang kubalas hanyalah kebingungan. Karena jujur saja aku tidak tahu apa-apa.
"Dokter tidak mungkin salah," ucapnya pelan. "Jawab dengan jujur, kamu hamil?"
Aku menggeleng kuat-kuat.
"Keila, jawab yang jujur."
Air mata menggenang pelupuk mata, siap untuk tumpah kapan saja. Kuharap dokter itu kembali lagi dan mengatakan bahwa itu hanyalah kesalahan, tetapi tidak ada yang datang. Perawat di ujung ruangan sana tampak jengkel mendengar drama keluarga dan tidak sabar menungguku angkat kaki agar tersedia tempat kosong.
"Oke, pertanyaan itu lewat." Ibu berjalan mendekat, menatap kedua bola mataku dengan intens. Menuntut jawaban bahwa aku masih anak perempuannya yang sama, yang lugu, yang patuh. "Siapa laki-laki itu?"
"Bu!" teriakku frustrasi. Seketika tangisku pecah. Dokter itu tidak kembali, itu artinya dia benar. Namun, kenapa bisa? Seingatku, aku pernah tidak melakukan aneh-aneh. Bahkan punya pacar saja tidak.
Ibu ikut menangis bersamaku. Suaranya pelan, terdengar menyesakkan dada. Tanpa kusadari, aku telah mencorengkan nama baik keluarga. Aku sudah merobek hati kecil ibu.
"Ibu kecewa denganmu. Jika ayah masih hidup, dia juga akan mengatakan yang sama."
Sakit kepala kembali datang menghampiri. Kuingat akhir-akhir ini aku sakit-sakitan dan sering merasa mual. Karena tidak pernah bertindak di luar batas, kupikir hanya masuk angin biasa yang cukup dengan obat warung. Tak kusangka ternyata karena sudah berbadan dua.
"Bu, bagaimana kalau aborsi?" usulku tiba-tiba. Hanya itu yang terlintas di kepala saat ini.
Pipiku memerah, terasa panas beberapa detik kemudian setelah telapak tangan ibu menamparku keras. Tamparan ibu begitu mendadak dan cepat sehingga tidak dapat dihindari. Mata ibu membengkak karena menangis, semakin parah ketika mendengar usulanku untuk melakukan aborsi.
"Dasar gila. Minta laki-laki itu bertanggungjawab."
Tubuhku merosot di ranjang keras. Semakin putus asa karena tidak ada siapapun nama yang kucurigai. Jika kujawab tidak tahu, ibu pasti menganggap aku wanita jalang.
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan ibu diam seribu bahasa. Kepala dipenuhi pertanyaan dan dugaan. Aku tidak akan menjawab identitas laki-laki itu sampai kutemukan fakta. Sedangkan ibu menganggapku melindungi laki-laki itu dari tanggung jawab.
"Keila, ibu beri waktu tiga hari untuk menjawab. Jika tidak, pergi dari rumah ini."
Pintu kamar terbanting di hadapan wajahku. Terdengar sayup-sayup isak tangis yang menyakiti perasaanku. Ibu pasti kecewa berat. Aku mencoba mengerti posisi ibu yang dihancurkan oleh putrinya sendiri. Waktuku hanya tiga hari untuk mencari tahu siapa laki-laki itu.
🔥🔥🔥

KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Bara
Mystery / ThrillerBerawal dari alkohol, Keila terjebak dalam labirin kesengsaraan yang dibuat laki-laki itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada ampunan. 🔥🔥🔥 Mengandung banyak konten negatif yang mungkin mengganggu bagi sebagian pembaca. ⚠Trigger Warning⚠ Toxic...