Bab 27

2.3K 151 17
                                    

Di antara Bi Suti dan Dina, siapa yang berpotensi menjadi mata-mata Dirga? Mereka berdua hanyalah korban atau justru akan membawaku pada petaka?

Aku terbangun pukul tiga dini hari dan tidak bisa memejamkan mata lagi. Uring-uringan memikirkan hal itu. Bi Suti tampak profesional dan sedikit keibuan karena usianya, sedangkan Dina orang yang ramah dan berusaha bekerja dengan baik. Aku tidak menaruh kecurigaan pada mereka sama sekali sejak awal. Kucoba mengingat apakah aku pernah bertingkah laku ceroboh di dekat mereka, sepertinya tidak. Saat aku 'tersesat' di lorong untuk mencari ruang CCTV, Dina tampak tak curiga. Jika Dina mata-mata, dia akan peduli. Lalu, ada Bi Suti yang dari awal mengawasiku. Aku merasa itu hanya karena aku pendatang baru.

Bagaimana ini?!

Aku memutuskan untuk pergi ke dapur, membuat teh hangat dan makan camilan. Otakku harus dapat berpikir jernih. Hanya rebahan di tempat tidur berjam-jam tidak menghasilkan apa-apa.

Terdengar krasak-krusuk tanpa wujud. Mengingat dalam hitungan menit matahari akan terbit, pasti beberapa ART sudah mulai sibuk. Meski begitu, dapur sepi tanpa penghuni. Aku diam-diam membuka laci untuk mengecek apakah ada camilan yang bisa dimakan bersama teh hangat.

"Selamat pagi, Nyonya."

Aku terperanjat. Nyaris melompat saking kagetnya oleh sapaan sopan seorang ART. Bukan hanya ART biasa, melainkan salah satu ART yang menjadi penyebab kesulitan tidur. Dina.

"Pagi," balasku nyaris tak terdengar.

"Maaf saya sudah mengejutkan Nyonya. Maaf juga sarapannya belum siap. Saya dan yang lain baru mau menyiapkan."

"Saya hanya mau minum teh hangat dan—"

Sebelum menyelesaikan kata-kata, Dina mengambil sebungkus biskuit yang masih tersegel dari pintu laci lain. "Nyonya mencari camilan? Ini biskuit yang baru beli kemarin."

"Terima kasih. Saya memang mencari ini," jawabku sambil menerima sebungkus biskuit.

"Biar saya yang siapkan teh hangatnya, Nyonya."

Aku hendak menolak, tetapi Dina dengan sigap mengambil ceret, lalu menjarangnya. Aku pun memerhatikan gerak-geriknya membuat teh. Caranya memilih cangkir khusus untuk minum teh. Jari-jari panjang berkuku pendek meraih setoples teh di deretan setoples bubuk kopi dan susu. Dengan cepat menyiapkan penyaring dan sendok kecil. Air mendidih nyaring, segera dimatikan agar tak suaranya tak memekikkan seisi rumah. Teh tersebut diletakkan pada penyaring dan dituangkan air panas diatasnya hingga yang mengalir ke cangkir berupa cairan kecoklatan yang harum.

"Jangan pakai gula," sergahku. Dia menarik kembali uluran tangannya dari wadah kaca berisi gula.

"Mari saya antar ke meja, Nyonya."

Dina membawakan secangkir teh panas dengan nampan seolah-olah membawa sepatu kaca yang rapuh.

"Bawa ke ruang tengah saja. Saya mau sambil menonton TV."

Aku tidak mau duduk di ruang makan yang jaraknya dekat dengan keberadaan Dina. Dina akan memasak bersama yang lain, bisa-bisa aku kehilangan fokus.

Baru saja aku hendak memikirkan rencanaku selanjutnya yang bersangkutan dengan dua ART itu, Dirga memanggilku dari belakang. Kenapa di saat aku ingin menyendiri ada saja gangguannya?

"Sepagi ini sudah bangun?"

Dia berpakaian rapi, meski tanpa jas dan dasi. Rambutnya juga disisir asal rapi. Dia sibuk mengenakan jam tangan yang tak kunjung merekat. Jadi aku berinisiatif mengulurkan tangan untuk membantunya. Dirga tersenyum, kemudian tangannya kanannya yang kosong mengusap bahu dan naik mengalungi leherku.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang