Bab 18

4.3K 255 14
                                    

❗❗⚠❗❗

Entah kesalahan besar apa yang telah kuperbuat di masa lalu. Aku merasa aku ditakdirkan untuk menghadapi orang-orang bersumbu pendek. Tadi Dirga, sekarang temannya yang tak kalah bajingan. Aku takut dan benci Dirga, tapi juga dengan Rico. Bajingan satu ini tidak segan-segan melukaiku melebihi Dirga. Separah-parahnya Dirga, dia tidak akan merusak boneka kesayangannya yang menguntungkan. Oleh karena itu aku masih memiliki keberanian untuk memberontak dan sedikit bermain licik. Sedangkan Rico, bercermin dari pertemuan terakhir kami... aku bisa mati di tangannya kapan saja.

Sedari tadi Rico tidak berhenti-hentinya mengomentari tubuhku yang menjadi kurus, tidak sesintal sebelumnya. Walaupun menyakitkan mendengarkan ucapannya yang mengejekku terus-terusan, dalam hati aku berpuas diri dia tidak menyukai tubuhku. Bukan hanya Dirga, Rico pun membenci tubuh kurusku yang semakin menunjukkan tulang-tulangnya. Hanya dengan tubuh kurus mereka bisa sangat marah. Apakah aku harus menyakiti diriku seperti ini untuk membuat mereka jengkel setengah mati? Bisa saja mereka membuangku setelah aku tampak seperti tengkorak hidup.

Terdengar mustahil, tetapi layak untuk dicoba.

Lagi-lagi aku mendengar gerutunya tentang kedua pahaku yang menciut dan kulit yang kering tak terawat akibat kekurangan asupan gizi. Dia berdecak sebal. Melihat wajahnya yang dongkol, membuatku ingin menyemburkan tawa. Sepertinya dia kehilangan hasrat sebab dirinya bangkit dari tubuhku. Aku segera merapikan pakaianku, bersiap untuk ditendang keluar dari ruangan sialan ini. Dengan senang hati aku akan angkat kaki.

"Apa kamu sadar kalau badanmu kerempeng begini?" ujarnya kesal. "Seperti orang-orangan sawah!"

Aku memilih untuk tidak meladeninya, meskipun perumpamaan orang-orangan sawah itu jahat sekali.

"Dirga bagaimana, sih?! Istrinya tidak diurus dan sekarang jadi jelek. Menatapnya saja aku tidak sudi! Dasar bajingan!"

Rico terus saja mengoceh. Mengejek tubuhku yang tak seindah dulu dan ketidakbecusan Dirga mengurusiku. Kata-katanya sangat menusuk ketika mengomentari tubuhku. Aku tidak tahu sudah seburuk ini diriku setelah kehilangan nafsu makan.

"Jangan diam saja, Bodoh! Jangan-jangan sekarang kamu tuli juga ya?!"

Aku marah. Marah sekali padanya. Ejekan kurus saja tak cukup baginya, bodoh dan tuli menjadi bahan ejekan yang lain.

"Lalu aku harus apa?!" teriakku marah. "Tubuhku tinggal kulit pun itu bukan urusanmu! Pergi urusi istrimu sana! Kasihan dia punya pasangan bangsat maniak seks!"

Saat itu juga aku ditamparnya sangat keras. Rasanya melebihi kekuatan Dirga ketika memukulku. Yang telah kukatakan barusan, jelas melukai hati jelek busuknya. Kemudian Rico celingukan entah mencari apa. Aku tidak sempat mengikuti arah pandangnya karena terjadi begitu cepat. Dia melesat kearah pandangannya tertuju, lalu kembali lagi. Aku didorongnya kuat hingga terjatuh ke lantai. Mataku langsung berkunang-kunang dengan pening di belakang kepalaku. Napasku pun tercekat seolah sistem pernapasan tak mampu berfungsi lagi.

Rico merayap perlahan ke bagian bawah tubuhku selagi aku berusaha keras hanya untuk bernapas. Kurasakan benda dingin menyapu kulitku. Lengan, turun ke pinggang, lalu kedua paha. Selain dingin, benda itu memiliki permukaan yang halus.

"Lihat sini," perintahnya. Aku dengan tertatih-tatih mencoba menengok kearahnya. Dia tidak sabaran sehingga leherku ditarik mendekat. Kedua bola mataku membulat seketika. Bukan Rico, bukan bajingan itu. Namun karena benda yang dipegangnya adalah pisau. Astaga, dia berniat membunuhku!

"Aku bisa membunuhmu sekarang juga," ucapnya sambil menyeringai. Seringaiannya tak lebih dari orang mesum.

"Dirga tidak akan senang, Rico."

Jujur saja, aku sangat ketakutan. Bahkan jari jemariku gemetaran melihat pisau itu menempel di paha. Ditekan sedikit saja, darah segar akan mengalir. Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain menggunakan nama Dirga untuk mencegahnya dari niat membunuhku.

"Persetan Dirga!" teriak marah. Oh tidak, Dirga sama sekali tidak berpengaruh padanya.

Aku memberontak ketika dia dengan main-main menekan mata pisau ke permukaan kulitku. "Gila! Dasar sinting!" Aku menendang seraya berusaha menjauhkan tangannya dari pahami. Aku takut dia akan benar-benar memotong kakiku menggunakan pisau itu.

Yang dilakukan Rico selanjutnya adalah mendorongku kembali ke lantai. Sementara itu, ujung mata pisaunya menekan semakin dalam, merobek kulit hingga daging. Darah segar mengalir membanjiri paha. Aku menjerit selagi ia menarik pisau tersebut sehingga membentuk luka yang panjang dan lebar.

Di sisi kiri wajahku, kulihat ponselku yang terjatuh di lantai. Dengan sisa-sisa tenaga dan kelengahan Rico yang sibuk menyayat, susah payah aku meraihnya. Sedikit lagi... Sedikit lagi aku mendapatkannya... Dapat!

Dengan satu ayunan tangan yang kuat, Kuhantam lehernya menggunakan sudut ponselnya. Dia tersedak akibat terkejut, meskipun aku gagal menyakitinya. Saat itu juga aku memukulnya lagi di wajah, kemudian menendangnya dengan kaki yang tidak dilukai.

Aku langsung berlari terseok-seok ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Sedetik kemudian, emosi Rico yang membuncah bersamaan dengan dirinya memukuli pintu, memintaku untuk segera membukanya. Telat sedikit saja, aku mungkin tidak punya kesempatan lain untuk melepaskan diri.

Kedua tanganku gemetaran, sedangkan paha semakin nyeri mengigit. Aku mencengkeram ponsel kuat-kuat karena takut akan tergelincir dari tanganku yang gemetar. Kuhubungi supir yang pasti ada di sekitar hotel. Dia pasti akan segera berlari kesini, menyelamatkanku.

"Kubilang, buka pintunya!"

Aku terkejut oleh teriakannya yang sangat mengerikan, disusul dobrakan paksa agar pintunya rusak. Gemetar tanganku semakin parah.

"Ayo, angkat... Angkat..."

Tak lama, panggilan diangkat. Aku langsung memohon dengan suara serak dan getir.

"Pak, tolong saya. Pak... Rico... Tolong saya..."

Suara dobrakan lagi, lebih gaduh. "Kamu nelpon siapa, hah?!"

Tanpa menjawab atau mematikan sambungan telepon, yang kudengar hanya langkah kaki Pak supir yang sangat terburu-buru.

"Pak..."

Suara memekakkan telinga yang sangat kutakuti muncul juga. Dengan wajah bengis, Rico berjalan ke arahku, merebut ponsel di tanganku dan membantingnya sampai hancur. Tak sempat memerhatikan kondisi ponselku dengan cermat, Rico mencekik sembari mendorongku ke dinding keramik kamar mandi. Saat itu juga aku merasa pusing. Pandanganku kacau seperti air yang dikocok. Tak hanya itu, pernapasanku mulai kesulitan memperoleh oksigen. Leherku juga sesak oleh cengkeraman tangannya yang semakin mengencang penuh dendam. Rasanya sakit sekali. Semua bagian tubuhku habis disiksa dan dilukai. Di tengah kekalutan tubuhku untuk tetap terjaga dan waras, selintas aku berpikir, mungkin mati di tangan bajingan tidak seburuk itu. Pada akhirnya dia akan kena masalah karena kasus pembunuhan, sedangkan aku akan beristirahat dengan tenang sambil menyaksikan dia sengsara di sisa hidupnya yang menyedihkan.

Aku mulai terpengaruh oleh pikiran putus asa itu. Tubuhku perlahan rileks, tidak berminat untuk bertahan lagi. Napasku yang terputus-putus memasrahkan diri. Seiring menit demi menit berlalu, aku mulai merasakan tubuhku ringan. Ya, aku seharusnya pasrah saja sejak awal. Berusaha dan melawan hanya menghabiskan tenaga. Biarlah, usiaku berhenti terlalu dini. Aku ikhlas jika itu bayaran yang setimpal untuk sebuah kedamaian.

🔥🔥🔥

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang