Bab 32

2.5K 196 24
                                    

"Kenapa istriku ada di sini?"

Air mata menetes membasahi pipi. Kengerian terpancar seperti kelinci kecil yang tertangkap predator.

Aku... sudah tamat.

Dirga mengambil sesuatu dari rak. Mungkin barang yang tertinggal dan sialnya aku tidak menyadari kedatangannya.

"Ikut aku."

Tanganku ditarik kuat-kuat, terpaksa mengikutinya atau aku akan terseret karena tanpa niat sedikitpun memperlambat langkah kaki. Aku menengok ke belakang untuk terakhir kalinya. ART itu mengerjap dengan mata berlinang-linang meminta pertolongan. Tanpa dia tahu, kami berdua sama-sama membutuhkan pertolongan.

Kakiku menabrak salah anak tangga. Namun, Dirga terus memaksaku untuk berjalan tanpa henti.

"Dirga, dengarkan aku dulu."

Aku berusaha memohon perhatiannya agar mau tenang sejenak.

"Dirga!"

Pendengarannya seakan menumpul.

Beberapa ART melihat kami langsung memalingkan wajah, mengabaikan tatapanku yang memohon pertolongan. Mereka juga punya nyawa yang harus dijaga. Menolongku hanya akan membuktikan perlawanan atas kuasa majikan mereka.

Dirga memaksaku masuk ke dalam kamarnya. Kamar kami berdua sekarang. Kemudian, dia mendorongku masuk ke kamar mandi. Dia menyuruhku untuk cuci wajah, tangan dan kaki. Tanpa bertanya lebih lanjut, aku mengikuti perintahnya cepat-cepat.

Tubuhnya berdiri tegap menutupi pintu. Tatapannya nyalang dipenuhi emosi sampai aku hanya mampu menatap lantai.

"Ganti bajumu. Sekarang."

Aku kembali menatapnya, ragu-ragu.

"Cepat."

Suaranya yang menuntut itu mengagetkanku. Aku terburu-buru membuka pakaianku sesuai perintahnya. Aku belum siap jika Dirga kembali menampilkan sisi bajingan tanpa ampun yang dulu pernah kurasakan.

"Sedang apa tadi?"

Oh tidak, dia menginterogasi selagi aku berganti pakaian.

Aku harus berbohong.

Keila, kamu harus bisa berbohong!

Tubuh atas tersisa bra. Dengan tangan gemetar aku menurunkan celana hingga menyisakan pakaian dalam saja. Suhu dingin kamar langsung menyerang kulitku yang terekspos. Walaupun Dirga sudah sering melihatku polos, kedua tanganku tetap berusaha menutupi dadaku dari pandangannya.

"Aku melihatmu turun," jawabku bohong. Aku melihatnya naik, bukan turun. "Jadi aku mengikutimu."

Aku menatap pakaianku yang tergeletak di lantai. Ada banyak coreng moreng debu tebal. Apa karena ini Dirga memintaku berganti pakaian? Dia pasti tidak ingin kamarnya kotor.

Aku menyentuh rambutku, tapi tidak ada debu yang menempel selain helaian basah karena terkena air saat membasuh wajah.

"Kenal dia?"

Aku termenung sesaat sebelum menggeleng.

"Aku tidak suka orang yang berbohong."

Aku menggeleng kuat-kuat seraya berseru, "Aku tidak berbohong!"

Memang benar aku tidak mengenalnya. Kak Raina yang menyuruhku untuk menemuinya, bukan berarti aku kenal. Kebohongan yang divalidasi dengan alasan-alasan tak masuk akal itu berusaha menyakinkan diriku sendiri dan Dirga bahwa aku berkata jujur.

"Pakai bajumu."

Aku langsung masuk ke dalam kloset, mengambil baju di tumpukan teratas. Andai aku bisa berlama-lama disini, bersembunyi dari kehadiran Dirga yang mengintimidasi.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang