Bab 12

5K 296 4
                                    

Ternyata kebebasan hanya memberikan efek kesenangan sesaat. Setelahnya, aku tidak dapat berhenti menghentakkan kaki, gigi menggerogoti bibir, dan tangan terus gemetar ketakutan.

Banyak sekali pikiran dan pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Bagaimana kalau Dirga menyadari ketiadaanku? Dia pasti panik. Bagaimana kalau Dirga tahu aku kabur? Mampus saja aku. Bagaimana kalau Dirga menemukanku terlalu cepat? Aku berharap dibunuh saja ketika saat itu datang. Dirga pasti marah besar. Mainan yang sudah dijaganya dengan baik, malah memilih melarikan diri.

Jika aku tertangkap, aku pasti akan disiksa lebih parah.

Kini, aku berada dalam bus yang berjalan membelah pedesaan. Masker sengaja kupakai untuk berjaga-jaga. Jika dengan mudahnya mereka menemukan seseorang yang kabur, aku tidak boleh ceroboh.

Tujuanku adalah pedesaan yang cukup jauh dari perkotaan tempat Dirga tinggal. Aku juga sengaja kabur ke tempat yang terpencil, sulit sinyal, dan jauh dari jangkauan teknologi, agar Dirga semakin sulit untuk menemukanmu. Untung-untung kalau aku tidak pernah ditemukan.

Akhirnya aku sampai di tujuan. Aku segera turun dari bus. Kaki kananku menginjak tanah kering berkiril, udara sejuk langsung menyapaku, orang-orang lalu lalang di terminal dengan segala keperluan. Jauh tertutup kabut tebal, aku bisa melihat puncak gunung mengintip dari balik awan-awan. Kurapatkan jaket karena udara dingin sangat penasaran untuk membuatku mengigil.

Untuk pertama kalinya, aku dapat tersenyum dengan perasaan senang yang membuncah.

Aku berjalan keluar terminal dengan langkah ringan. Sudah terancang dengan baik apa yang akan kulakukan di desa ini. Pertama aku akan mencari tempat tinggal. Tidak peduli hanya rumah sederhana atau bahkan gubuk kecil. Semakin tidak mencolok keberadaanku, Dirga dan orang-orang suruhan akan semakin kesulitan. Setelah itu aku akan mencari kerja. Menjadi petani, pedagang makanan matang, atau apa saja yang dapat menghidupi perutku sampai mati nanti.

Aku mendatangi salah satu ojek yang mangkal di dekat terminal. Aku bertanya sesuatu pada bapak tua itu, tapi sepertinya dia tidak mendengar. Jadi, kubuka sedikit masker yang kupakai hanya untuk memberi celah agar suaraku terdengar jelas.

"Ada desa kecil di daerah sini?"

Bapak tua itu tersenyum, kemudian mengangguk. "Ada, Mbak. Beberapa ada dekat terminal. Ada juga satu desa lumayan terpencil, tapi jauh di dalam sana," ucapnya sambil menunjuk entah ke arah mana, tetapi ujung jari telunjuknya mengarah ke sekitar gunung. Pasti di sekitar situ.

"Bisa antar saya kesana, Pak? Ke desa terpencil yang bapak maksud? Saya bakal bayar lebih."

"Bisa, Mbak."

Aku langsung menaiki motor dan memakai helm, mengikuti bapak tua ini mengantarku ke desa terpencil. Awalnya semuanya baik-baik saja, sampai motor belok kiri ke jalan yang lebih kecil, jalanan tidak lagi teraspal. Ada lebih banyak batu dan kerikil halus yang menyusahkan perjalanan. Pepohonan mulai rimbun di kedua sisi. Beberapa motor butut lewat, sesekali bapak tua ini bertegur sapa kepada pengendara lain.

"Mbak kayaknya dari kota, kenapa tiba-tiba tertarik buat kesini?"

Tanpa menaruh rasa curiga, aku menjawab seadanya dengan sedikit bumbu kebohongan. "Saya mau lepas dari hingar-bingar kota, Pak. Disini enak, udaranya sejuk."

Setidaknya itu jawaban paling normal dan umum bagi orang kota yang menginjakkan kaki di desa.

"Iya, Mbak. Disini udaranya masih bagus. Airnya juga jernih. Mbak juga pasti suka makan sayur buah disini, soalnya langsung dari petani."

Aku tertawa kecil. "Benar juga. Saya pasti bisa sehat disini."

Bukan hanya sehat secara fisik, tapi juga secara mental. Aku tersenyum dengan hati bahagia.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol santai. Bapak tua ini tidak sekalipun menyinggung atau mengajukan pertanyaan yang terlalu pribadi. Hal itu membuatku senang karena tidak perlu repot-repot untuk berbohong lebih banyak. Dia juga menceritakan anak sulungnya yang bekerja di sawah dan perkebunan. Katanya, aku akan mendapat beberapa hasil panen gratis sebagai ucapan selamat datang. Aku berterimakasih karena kebaikannya.

Setelah bercakap-cakap dengannya, aku jadi tahu bahwa bapak tua ini rumahnya berada di desa terpencil yang kuidamkan. Setidaknya ada satu orang dari desa itu yang akan membantuku beradaptasi.

Berkatnya, perjalanan jauh terasa begitu singkat dengan obrolan tak tentu arah.

Setelah masuk ke dalam hutan yang lebat, ternyata dibaliknya terdapat desa yang asri. Rumah-rumah sederhana yang berjarak sangat jauh, dataran didominasi oleh sawah, perkebunan dan juga ladang rumput dimana para kambing sedang menikmati santapan.

"Bu Tirta!"

Wanita setengah baya yang dipanggilnya iu menghentikan langkah dan mesin motor ikut dimatikan.

"Rumah itu masih kosong?" tanyanya langsung tepat sasaran.

Wanita itu melirik padaku sekilas, lalu mengangguk.

"Ini mbaknya butuh tempat tinggal," ucapnya. "Rumah Bu Tirta belum ada yang nyewa, Mbak. Mbak mau?"

Aku pun langsung mengiakan. "Boleh banget, Pak, Bu. Terima kasih ya, Pak. Terima kasih banyak."

Aku pun turun dari motornya sambil terus mengucapkan terima kasih. Tak lupa aku membayar jasanya lebih sesuai yang kujanjikan.

"Kalau gitu, ayo ikut saya."

Aku hendak mengikutinya, tetapi aku teringat sesuatu dan aku pun berbalik.

"Pak, saya punya permintaan," ucapku berbisik. Raut wajahnya langsung berubah.

"Apa itu, Mbak?"

Aku mencondongkan tubuh, mendekatinya. "Tolong rahasiakan kedatangan saya kemari dari orang asing. Yang menurut bapak mencurigakan."

Tanpa menanyakan alasannya, permintaanku dikabulkan dan menghiburkanku untuk tenang. Walaupun aku belum seratus persen mempercayai warga desa ini, setidaknya aku sudah mengatakan permintaanku untuk berjaga-jaga.

Melalui jalan setapak yang kecil, di sisi kanan dan kiri dipadati oleh rumput-rumput liar dan pepohonan raksasa. Di siang hari akan menyejukkan, tapi di malam hari pasti akan menjadi pemandangan yang menyeramkan.

"Ini rumahnya, Mbak. Emang kecil, tapi nyaman kok."

Aku tersenyum, kemudian melangkahkan kaki menuju halamannya yang berpasir dan masuk ke dalam rumah tua berdinding kayu itu. Sedikit lembab dan gelap, tapi tak apa, aku akan membersihkannya nanti.

Setelah melihat-lihat sebentar, aku langsung menyetujui untuk tinggal di desa ini, di rumah ini. Semoga keputusanku sudah tepat dan mendapat ketenangan yang telah lama kurindukan.

🔥🔥🔥



Akhirnya bisa leha-leha liburan semester. Semoga aja makin sering update wkwk

Di bab ini Keila bisa kabur & rehat dari si bastard itu. Doakan aja yg terbaik buat dia :)

Itu aja, thank you udah baca sampe bab ini. Tunggu bab-bab kelanjutannya ya! Bye bye!

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang