Bab 23

2.6K 153 15
                                    

Kesadaranku kembali dengan kepala terasa berat dan super mengantuk. Tubuhku sudah baik-baik saja tanpa rasa sakit, penawarnya bekerja. Tapi sepertinya aku masih butuh waktu tidur lebih banyak lagi.

"Kei, bangun sebentar."

Jantungku berpacu seperti masih dibawah pengaruh obat begitu mendengar suaranya yang hilang beberapa hari ini. Lantas aku menoleh ke sumber suara. Di sana, di pojok ruangan, dia berdiri mengamatiku layaknya hantu yang gemar menguntit. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, ekspresi apa yang dia buat. Jika mendengar dari nada ucapannya, kusimpulkan suasana hatinya sedang bagus tapi bukan berarti aku dapat mengetes batasnya.

"Sekarang masih jam 3," ucapnya memberitahu.

"Kenapa ke sini?" tanyaku waspada meskipun kesadaran belum pulih seutuhnya.

Dia berjalan mendekat, keluar dari bayang-bayang yang melingkupinya di pojok ruangan. Kini, aku dapat melihatnya yang menjulang tinggi, aura mengintimidasi begitu pekat meski suaranya setenang danau.

"Aku akan bertanya satu hal padamu dan akan kupertimbangkan jawabannya."

Mulutku bergerak lemah hendak berkata apa, tetapi tak ada suara yang keluar. Rasa takut menguasai diriku ketika tangannya membelai helaian rambutku yang terhampar berantakan di bantal. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, murni hanya ingin memainkannya.

"Mau kamu apakan orang yang telah melukaimu itu?"

Tangannya merambat turun, menyentuh bagian dalam paha yang lukanya belum sepenuhnya sembuh. Luka yang dalam dan panjang hingga hanya disentuh lagi saja dapat mengembalikan kenangan buruk tersebut. Kulitku meremang akan sensasi jari jemarinya yang dengan lambat mengusapnya. Entah dia berniat untuk menenangkan atau menakuti, aku tidak bisa membedakan keduanya.

Dia berjongkok sehingga aku dapat merasakan tatapannya yang intens menusukku lebih dekat.

"Jawab aku, Kei."

Bajingan ini memberiku kesempatan untuk ikut andil mengambil keputusan. Dia bilang akan mempertimbangkan jawabanku, bukan mengiakan langsung. Jika aku menginginkan Rico mati, apakah dia mau mengabulkannya? Baginya, Rico pasti lebih penting daripada aku yang hanya bonekanya. Namun, melihatnya lepas kontrol karena apa yang Rico lakukan sudah diluar batas membuatku tergiur untuk serakah.

Aku membalas tatapannya, berusaha seberani mungkin untuk mengutarakan apa yang paling kuinginkan. "Bunuh dia."

Seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Dia tampak puas dengan jawabanku.

"Ternyata kita sepemikiran," jawabnya dengan suara amat rendah, membuatku merinding ngeri.

"Jangan senang dulu, Kei, ada syaratnya."

Ah, tentu saja! Tidak mungkin Dirga akan mengabulkan keinginanku cuma-cuma. Apa lagi yang dia inginkan dariku? Tidak ada apa-apa yang tersisa dalam diriku. Aku sudah rusak parah.

"Apa?"

Senyumnya semakin lebar, menikmati kejengkelan yang terpampang jelas di wajahku. "Makan dengan benar."

Aku mengernyit bingung. "Itu saja?"

Ekspresi wajahnya sedikit berubah. Setitik kekesalan menodai suasana hatinya yang sedang stabil. Oh tidak, sepertinya aku salah bicara.

"Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu malas-malasan makan?"

"Maaf, maaf," ucapku terburu-buru. Aku tidak mau merusak kelembutannya yang hanya sementara ini menjadi kekejaman. "Aku terima syaratnya, tapi aku juga punya satu permintaan."

"Apa itu?"

Jantungku berdegup kencang, siap tak siap untuk mengutarakan dan juga mendengar respon apa yang akan dilontarkannya nanti.

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang