Bab 28

1.8K 138 13
                                    

Pertanyaan yang kuajukan dapat berujung pada pengkhianatan. Aku harus nekat dengan rahasia kecil yang kupegang ini.

"Apa Dirga punya ketertarikan khusus padaku sejak dulu?"

Bi Suti mematung. Bola matanya bergerak liar ke kanan dan kiri, berusaha mengingat kepingan jawaban yang kubutuhkan.

"Saya tidak yakin, Nyonya. Saya—" Suaranya menghilang ketika bertemu dengan tatapanku. "Saya hanya ingat dulu pernah menemukan sekotak foto perempuan. Dia marah besar, setelah itu saya dilarang membersihkan kamarnya lagi."

"Kapan?"

"Waktu dia SMA, mungkin tujuh belas atau delapan belas. Saya ingat sepulang sekolah dia mengamuk karena melihat saya membuka kotak itu."

Itu aku. Foto-foto yang Dirga ambil dan koleksi diam-diam seperti penguntit mesum itu aku. Dia sudah menargetkanku sejak SMP. Mengerikan.

"Apa Bi Suti sadar begitu melihat saya datang ke rumah ini?" tanyaku berang, nyaris kehilangan kendali untuk menahan emosi.

Bi Suti menggeleng lagi. "Saya tau bukan karena foto, tapi Tuan yang memberitahu saya sendiri."

"Dia bilang apa?"

"Sebentar lagi dia menjadi milikku, Bi. Dia yang di foto-foto itu. Kurang lebih begitu."

Cukup memuakkan mendengar bahwa Dirga memang menginginkanku. Aku sudah menemukan banyak bukti, hanya terlalu denial untuk mengakuinya.

"Bi Suti pasti tau hidupku seperti neraka di sini," gumamku pelan. Aku tak mampu membayangkan selama ini Bi Suti hanya mengamati usai mengetahui ketertarikan Dirga, ambisinya, segalanya yang menghancurkan hidupku.

"Maaf, saya tidak bisa membantu apa-apa untuk Nyonya. Saya hanya bisa menjaga Nyonya sesuai perintah Tuan."

Mataku memicing. "Apa itu alasan Bi Suti mengawasiku terus menerus?"

Reaksinya sangat mudah ditebak. Dia terperanjat, tak menduga akan tertangkap basah. Jadi benar firasatku yang mengatakan bahwa Bi Suti diam-diam mengawasiku dari kejauhan maupun dekat.

"Maafkan saya, Nyonya."

Dua pertanyaan terjawab. Aku masih ingin melempar pertanyaan lain.

"Bagaimana soal Dina? Saya juga meragukannya."

"Dina—Dina anak yang malang, tapi dia baik."

"Lalu?"

"Masa lalunya—soal masa lalunya saya tidak bisa bilang. Tuan meminta saya untuk merahasiakannya. Saya mohon, Nyonya."

Kalau itu aku juga sudah tahu. Sepertinya tidak ada secuil informasi soal Dina yang dapat kukorek dari Bi Suti.

"Ok, terakhir." Bi Suti tampak ingin menghela napas lega, tetapi terlalu takut dengan pertanyaan terakhir yang mungkin saja paling berat dan pribadi untuk dijawab.

"Apa ada ruangan lain di rumah ini?"

"Apa maksudnya, Nyonya?"

Aku melihat sekitar, kemudian mendekat untuk berbisik. "Gudang bawah tanah atau semacamnya."

Lagi dan lagi, wajah terkejut itu. Rupanya Bi Suti juga tahu. Aku jadi penasaran seberapa banyak rahasia yang Bi Suti simpan selama ini?

Namun, dia justru berkata, "Ada ruangan rahasia di rumah ini?"

Sial, aku justru membeberkannya. Sekarang Bi Suti pasti memikirkan lokasi ruangan tersebut.

"Saya hanya bertanya, ada atau tidak?"

Bi Suti buru-buru menggoyangkan kepalanya. "Setau saya tidak ada, Nyonya."

Kalaupun Bi Suti curiga, biarlah. Justru bagus bila dia menemukan ruangan itu. Hal terburuk yang mungkin terjadi jika Dirga tidak berkenan ruangan itu terkuak, Bi Suti yang akan menjadi sasaran utama.

"Bi—Maaf, saya tidak tahu ada Nyonya disini."

Kami berdua menoleh ke arah yang sama. Seorang ART yang tidak kukenal wajahnya. Entah ART baru atau aku belum pernah melihatnya saja. Dia sepertinya membutuhkan Bi Suti. Kusadari Milo juga sudah pergi selagi diriku menginterogasi Bi Suti. Syukurlah.

"Silakan, Bi Suti," ucapku pada akhirnya. Bi Suti menatapku sebentar, lalu mengangguk. Dia melangkah pergi lebih dulu.

Kenapa ART asing ini tidak pergi juga?

"Sekali lagi maaf, Nyonya. Permisi."

Dia berjalan melewatiku nyaris bertubrukan bahu. Namun bukan itu yang membuatku terperanjat bercampur heran. Jari jemarinya menyelipkan sesuatu ke telapak tanganku. Potongan kertas. Aku langsung menggenggamnya sebelum jatuh melambai-lambai ke lantai.

Aku memastikan semua orang sudah pergi, tidak ada yang mondar-mandir lagi, dan berdiri di titik buta CCTV untuk berjaga-jaga. Kubuka lipatan kertas kecil itu dengan cepat. Dua kalimat pendek ditulis dengan pensil.

Ponsel baru?

Ingat treatment penting kita.

Aku langsung mengetahui siapa yang menulis ini. Tak salah lagi, pasti Kak Raina. ART itu pasti disuap oleh Kak Raina untuk jadi perantara. Kalau tidak, mana mungkin kertas ini bisa ada di tanganku. Aku mendengus. Ada banyak rencana dan taktik yang dia rahasiakan dariku. Meski kesal, setidaknya sejauh ini dia tidak berkhianat.

Aku memerhatikan kalimat kedua. Treatment tidak sepenting itu jika hanya bertukar informasi. Jika dituliskan kata penting, pasti benar-benar demikian. Aku harus bertemu dengan Kak Raina lagi di jadwal treatment berikutnya.

Oh iya, aku juga harus memberikan nomor ponselku.

🔥🔥🔥

Makan malam berjalan dengan normal tanpa kehadiran Dirga.

Ya, Dirga yang mengajakku untuk makan malam bersama memberi kabar bahwa dia akan pulang larut malam. Urusan kerja, katanya. Entahlah, itu yang legal atau ilegal, dia terdengar sangat kacau balau. Ada baiknya mengiakan saja. Yah, setidaknya dia mau menyempatkan diri untuk memberi kabar daripada membiarkanku menunggu dengan perut keroncongan.

Untuk sementara waktu, ketegangan saat makan meninggalkan diriku. Aku dapat makan tanpa harus diikuti oleh tatapan Dirga. Aku juga lelah harus terus berpura-pura menjadi istri yang baik bahkan saat makan.

Oleh karena itu, aku menutup hari dengan hati bahagia. Bahagia sudah memanfaatkan kekayaan Dirga dengan berbelanja, bahagia karena aku mendapatkan beberapa jawaban yang kubutuhkan dari Bi Suti meski kami sama-sama saling memegang rahasia mengenai keakraban dengan Milo, bahagia karena Kak Raina mengisyaratkan adanya kemajuan yang amat penting untuk dibicarakan, dan bahagia makan malam sendirian. Terakhir, aku kembali mendapatkan kebahagiaan karena tenggelam dalam mimpi indah. Sampai rasanya aku enggan untuk membuka mata lagi.

Walaupun keinginanku untuk tinggal di dalam mimpi sangat kuat, kedua mataku terbuka perlahan di pagi hari. Aku menatap langit-langit kamar selagi otakku bekerja lambat untuk sadar sepenuhnya.

Aku merubah posisi menghadap samping. Ada seseorang yang memunggungiku. Napasnya tampak teratur dan setenang permukaan danau. Tunggu, itu siapa?

Membutuhkan waktu kurang lebih semenit hingga aku terjaga total. Itu Dirga yang terlelap. Dia tidak tidur di kamarku yang kecil, tapi lebih tepatnya aku tidur di kamarnya yang luas.

Aku buru-buru berbalik ke arah lain, balas memunggunginya. Jangan-jangan aku terlalu pulas sampai tak sadar dibopong kemari. Aku dapat memastikan pakaianku masih utuh karena selimut sudah berantakan menggumpal tak karuan di sudut tempat tidur.

Setelah sekian lama, aku kembali ke kamar ini lagi. Sesuatu yang menandakan kemajuan baik, tetapi juga memberikan efek kejut listrik pada jantungku. Aku harus bisa menguatkan diri dengan segala hal yang akan terjadi ke depannya.

Dirga harus bertekuk lutut di hadapanku seperti pecinta putus asa.

🔥🔥🔥

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang