Bab 35

4.1K 171 10
                                    

‼️mature content‼️

🔥🔥🔥

"Kamu juga harus mati."

Susah payah aku bangkit, mengabaikan perih yang semakin menyengat perut. Kedua tanganku berusaha menekannya agar tidak lebih banyak darah yang merembes keluar.

Dia melangkah turun, memasuki ruangan yang berkobar terang dengan aroma hangus pakaian bercampur daging.

"Dina."

Aku terperangah. Padahal selama ini dia baik kepadaku...

"Kamu sudah membunuh tuanku."

Kejadiannya begitu cepat. Dia menerjang dan refleks aku mengambil palu yang sebelumnya kulempar karena hanya benda itu yang mudah digapai. Dalam sekali ayunan, kepalanya sempoyongan dengan darah menciprati dress dan lantai. Aku mengenainya tepat di sisi kepala.

Dina mengerang kesakitan. Aku buru-buru melewatinya ketika tangannya mencekal pergelangan kakiku sehingga aku nyaris terpeleset. Aku berusaha menendangnya agar cepat lepas. Aku sama sekali tak mampu menunduk untuk memukulnya lagi. Posisinya terlalu rendah untuk diriku yang terluka di perut.

Asap semakin pekat hingga memenuhi paru-paru. Akibatnya aku terbatuk-batuk, membuat otot perutku bergejolak.

"Dia pantas mendapatkannya! Aku mau hidup bebas!"

Tendangan terakhir berhasil membuatnya terjungkal. Aku menaiki anak tangga satu demi satu. Hanya ada dua pilihan, kabur secepat mungkin atau menghadapi Dina dengan keadaan terluka parah.

Aku tidak sempat memikirkan alasan Dina masih membela tuannya sedangkan dia sendiri salah satu korban yang sudah lebih dulu merasakan sakit dan pahitnya bajingan itu.

Setelah sampai di permukaan, Dina berhasil meraih pergelangan kakiku lagi. Tanpa keseimbangan, aku terjatuh. Sakitnya langsung menjalar dari bokong hingga tulang. Napasku tersengal-sengal saat mengibaskan pergelangan kaki dengan kasar. Jika aku mengendurkan kekuatan sedikit saja, aku akan mati sia-sia di tangannya. Selamat tinggal kebebasan yang tinggal selangkah lagi. Aku akan gagal.

"Kalau aku mati, Dirga mati, kamu juga harus mati."

Dia tidak berniat membunuhku di sini, melainkan di ruang bawah tanah yang menyala-nyala. Dia mau menyeretku mati bertiga, bersama-sama. Terpanggang di rumah sendiri.

Dalam hitungan ketiga di hati, aku memaksakan diri untuk merunduk. Kuayunkan lagi, sekali, dua kali, tiga kali, hingga cengkeraman Dina merenggang.

Begitu terlepas, aku langsung bangkit. Dina berteriak kesakitan sembari mengumpat. Tangannya yang babak belur disertai darah mengalir lambat itu didekap erat-erat di dada.

"Selamat tinggal, Dina."

Aku memukul lagi tepat di kepala. Lalu kakiku menendangnya sampai dia berguling-guling di anak tangga, sama sepertiku tadi. Teriakan histeris tak terelakkan lagi ketika aku melihat dirinya tersambar kobaran api.

Bahkan dengan dirinya yang mulai terbungkus api, Dina masih berusaha merangkak menaiki anak tangga lagi. Tanpa membuang waktu, aku membanting pintu penutup berbahan kayu tersebut dan mengunci slotnya. Dapat didengar suara Dina yang memanggil-manggil namaku disertai gedoran lemah. Semakin lama suara tersebut menghilang, tidak ada lagi gedoran di bawahnya. Benar-benar sunyi. Hanya menyisakan hawa panas yang keluar dari sela-sela pintu.

Momen yang terekam panca indera ini pasti akan datang ke dalam mimpiku untuk waktu yang lama.

"Nyonya!"

Berselimut BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang