"Chika, would you be my girlfriend?"
"Yes, I will!"
'Duar!'
Pecah sudah air mata yang selama ini Vivi tahan bersamaan dengan kilat petir juga hujan deras yang turun dengan lebat, pengharapannya pada mimpi yang pernah ia alami sudah musnah. Mimpi buruknya menjadi kenyataan.
Semua orang dapat melihat tubuh Vivi di tengah-tengah kilat yang beradu dengan deras hujan, ada yang takut jika Vivi kenapa-napa ada pula yang memberikan sumpah serapah pada gadis nakal itu.
Vivi berlari sejauh mungkin bahkan ia berniat pulang dengan jalan kaki.
Langkah kakinya membawanya kearah yang tak tentu. Ia rapuh, fikirannya kacau.
Lagi-lagi langkah kakinya membawanya pada suatu taman.
Ia terduduk lemas didekat pohon rindang, tangisan pilu tak mampu hujan samarkan.
Ia menangis, mengerang bahkan memukul pohon dengan tangan nya yang terluka dan lagi-lagi darah mengucur dari tangan Vivi.
Ia tersenyum menatap tangannya yang berlumuran darah di sela-sela tangisannya.
'Bahkan gue ga ngerasain lagi sakitnya tangan gue' batin Vivi
Hujan semakin deras membuat Vivi semakin betah berlama-lama di guyur air dingin yang jatuh dari langit.
Matanya menatap lurus pada kilat-kilat di langit, air mata terus menetes. Entah mengapa ia merasa sangat rapuh, mengapa kehilangan selalu menjadi akhir saat ia mencintai seseorang.
Kehilangan adalah suatu hal yang paling Vivi benci, jika ia harus merasakan kehilangan mengapa tidak dirinya saja yang hilang? Itu akan lebih baik dari pada ia harus menanggung rasa sakit yang begitu dalam.
"Kenapa?" Gumam Vivi
Ia peluk erat kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya disitu berupaya menyamarkan tangis yang kian memilu. Punggungnya bergetar hebat menandakan kerapuhan yang mendalam.
Tangan Vivi mencengkram kuat pahanya melampiaskan emosi yang terpendam.
"AARGGHH!" Teriak Vivi begitu kencang
Ia menangis lagi, tangisan yang begitu pilu.
Tubuhnya lemas bersamdar pada pohon, ia tertawa sejenak menertawakan dirinya yang terlihat begitu menyedihkan.
"Kenapa harus gue?" Tanya Vivi di sela-sela tawanya
"KENAPA?!" Teriaknya
Tatapannya meruncing, ia marah. Marah pada takdir yang selalu memberinya kepedihan.
Ia kembali menangis dengan pilu, dadanya naik turun akibat terlalu lama menangis.
Vivi bersandar lemah pada batang pohon, tatapannya sendu menatap langit kelam diatas sana.
"Makasih udah mau nemenin" Gumamnya pelan pada sang hujan
Vivi kembali menarik kakinya, ia peluk erat kedua lututnya.
Aku mencintaimu
Lebih dari yang kau tau
Harusnya engkau sadari
Akan hal ituSuara Vivi begitu lirih, bahkan bernyanyi sepenggal lirik pun ia tak sanggup.
Ia memejamkan matanya membiarkan hujan membasahi dirinya, membiarkan angin memeluknya dan membiarkan petir menyapanya.
~~~
Chika menatap langit kelam diatas sana yang sesekali beradu dengan petir.
"Maaf kak" Gumam Chika pelan