Bab 6 Calon Sahabat

76 0 0
                                    


POV AMARA

"Ting"

Alarm panggangan roti telah berbunyi menandakan roti siap untuk dikeluarkan dari oven. Aroma harum dari panggangan mengisi seluruh ruangan. Selain aroma roti, ruangan diisi dengan aroma kopi yang menyengat. Pagi adalah waktu yang cocok untuk menikmati sepotong roti dengan secangkir teh apalagi kalau ada Free wifi. Banyak sekali pelanggan hari ini, meskipun ini hari pertamaku bekerja, tapi sebelumnya aku sudah dibimbing sama Mba Arum supervisor toko roti ini. Hariku berjalan lancar, memanggang roti, menerima pesanan, melakukan pengemasan. Sebenarnya ada bagian masing-masing tapi aku tak mau ahli dalam satu hal, aku ingin Multi talent jadi setiap ada yang butuh bantuan aku bisa. Seorang laki-laki berpostur tinggi, kulit putih, rambut agak ikal dan sedikit kumis tipis mengangkat tangan memanggilku sepertinya ingin memesan sesuatu.

"Iya kak ada yang ingin anda pesan ?" tanyaku sambil menghampirinya dengan membawa catatan

"Seperti biasa ya" dia memesan tanpa bergeming dari laptop yang ada didepannya sepertinya sedang sibuk dengan sesuatu. 'Seperti biasa' batinku aku sedikit menghela nafas dan bertanya kembali

"Mohon maaf apa saja yang anda pesan ?" kali ini aku agak menunduk. Dia terlihat terkejut saat menengok muka kami sangat dekat akupun juga sangat terkejut.

Mataku dan matanya terkunci beberapa detik tapi seketika dia mengalihkan pandangan ke arah laptopnya.

"Maaf jangan dekat-dekat kita bukan muhrim" katanya dingin. Aku menghela nafas panjang

"Maaf kakak, saya ini pegawai baru jadi nggak tau SEPERTI BIASA yang kakak maksud itu apa"

"Maaf saya pesan Machalatte, roti pisang cokelat sama yang small cheese" katanya tanpa bergeming dari laptopnya

Aku langsung memberikan pesanan pada Ica teman seprofesiku. Tak perlu meninggu lama pesanan sudah siap, Ica menyuruhku untuk mengantarkannya karena karyawan lain sedang sibuk. Kuantarkan pesanan laki-laki itu kulihat dia masih sibuk dengan laptopnya. Aku taruh pesanannya di depan laptopnya karena hanya itu posisi yang tidak tertutup dengan buku yang di bawa. Dia hanya mengangguk saat aku meletakkan pesanannya bahkan tanpa kata terimakasih. Saat aku akan melangkah pergi tak sengaja aku menyandung kabel laptopnya dan tak sengaja membuat machalattenya tumpah mengenai berkas dan laptopnya. Spontan dia langsung terkejut dan berdiri, kulihat wajahnya yang putih mulai memerah padam matanya melotot kearahku membuatku agak takut.

"Ma..ma. maaf kak, saya tidak sengaja" aku membersihkan berkasnya dan laptopnya tapi dia langsung merampas laptop itu

"Anda tidak punya mata atau gimana ha ?" pria itu pergi tanpa kata. Spontan aku langsung mengejarnya dan memang lengannya. Maksudku ingin meminta maaf dan mengganti kerusakannya. Saat merasakan lengannya ku genggam dia langsung menghempaskan tanganku dan berbalik menatapku dengan tingkat kemarahan yang mungkin meningkat.

"Tidak bisakan anda menjaga sikap anda ? sudah saya bilang kita bukan mahram. Saya sudah sabar dengan anda merusak laptop saya sekarang anda pegang-pegang saya apa maksud anda ?"

"Maaf kak aku hanya ingin mengganti biaya servis laptop kakak, saya akan bertanggung jawab"

"Tidak perlu" jawabnya dingin

Dia berlalu pergi meninggalkan toko roti dengan keadaan sangat marah. Aku tahu mungkin dia sangat marah, tapi ini juga salahnya kenapa kabelnya dibiarkan menghalangi jalan. Dan buat apa dia berbicara bahwa aku tak punya tanggung jawab, apa maksudnya ? Dasar Aneh.

Aku kembali dan membersihkan meja yang tadi terkena insiden kecerobohan pelanggan. Ya lebih tepatnya kecerobohanku dan pelanggan. Baru juga masuk ada, aja masalah. Belum sempat aku membersihkan semuanya, ada tangan lembut memegang bahuku dari belakang. Saat ku berbalik ternyata dia adalah seorang gadis, mungkin mahasiswa di universitas deket situ. Dia berjilbab panjang, lengkap dengan kaos kaki dan handsock. Wajahnya meneduhkan, manis saat tersenyum dan sangat ramah.

"Assalamualaikum mba" tangannya menyentuh lembut bahuku

"Waalaikumsalam, ada yang bisa saya bantu kak" tanyaku kebalikan badan dan agak sedikit membungkuk

"Mba saya mohon jangan sakit hati ya atas perlakuan kakak saya" aku sedikit bingung dan menggaruk alisku mikir keras apa yang dia maksud.

"Itu yang tadi di meja ini, yang ribut sama mba" aku langsung mengingatnya

"Oh iya kak tidak apa-apa itu tadi memang salah saya, saya juga minta maaf" jiwaku memberontak padahal dia juga salah. Tapi karena adiknya sesopan ini dan selembut ini aku tidak tega memarahinya.

"Perkenalkan mbak nama saya Lubna" dia menyodorkan tangannya. Aku membalasnya bersalaman

"Saya Ara" kataku dengan senyum super ramah.

"Mba aku boleh minta nomor watshap mbak Ara, sepertinya saya akan membutuhkan" perkataannya agak membuatku bertanya-tanya 'Membutuhkan' kenapa dia membutuhkan batinku. Lamunanku buyar ketika lambaian tangannya di mukaku untuk menyadarkanku

"Saya hanya ingin berteman dengan mbak Ara, saya ingin akrab sama pegawai jadi kan enak kalau mau datang ke sini sambil jenguk mbak Ara" pertanyaanku terjawab, aku kira dia ini pembaca pikiran deh. Aneh sekali belum juga aku mengatakan dia sudah menjawab. Kita bertukar nomor watshap, aku juga seneng si punya temen baru, mungkin ini awal titik balikku melupakan Brian.

Aku melanjutkan pekerjaanku dan dia Lubna masih setia menunggu di meja pojok dekat etalase roti. Aku kira dia akan pergi setelah bertukar nomor ternyata dia menungguku untuk makan siang bersama.

Dia melambaikan tangan kearahku dan menepuk kursi kosong disibelahnya. Aku melihat dia membawa sekotak makanan.

"Kak Lubna masih di sini ?" tanyaku heran, dia tersenyum manis kearahku

"Ndak usah panggil Kak lah, bukankah kita seumuran ? Kakaku biasanya manggil aku Una" katanya yang kubalas anggukan

"Ra ayo makan bareng, ini mami saya bawahan bekal banyak banget" Lubna memperlihatkan kotak makanan yang ada di tas jinjingnya

"Wah banyak banget, tapi aku heran deh kok kamu mau si deket-deket sama aku ?"tanyaku heran

"Emang kenapa ? kamu juga mau deket-deket aku tuh"

"Ya maksudnya kamu ini kan mahasiswa, cantik, agamis banget, kok mau-maunya kenal sama aku" tanyaku heran dia malah terkekeh

"Allah aja ndak memandang hambanya hari derajat, sosial ekonomi dan entah apalah itu.. semua disamaratakan, masak aku yang manusia biasa pilih-pilih malu dong" dia terkekeh dan memegang pundakku.

Aku heran kenapa setiap aku berbicara dengannya hatiku menjadi tenang. Pembawaannya tenang, mengayomi, hangat sekali aku merasa sedang ada di rumah. Hatiku mulai tenang saat kenal dengan Lubna ini, aku sebenarnya heran karena memang aku orang yang susah terbuka dengan orang lain sahabat saja hanya satu Brian. Huft...dan sekarang Brian sudah tidak menjadi sahabatku lagi. Beruntungnya sehari di sini sudah mendapat calon sahabat seperti Lubna. Aku mengatakan calon sahabat karena kita baru bertemu dan belum mengenal satu sama lain. Tapi perasaanku mengatakan dia akan menjadi salah satu alasanku harus berubah.

Hijrahku Menamukanmu (Takdir Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang