Bab 24 Salah Sangka

54 0 0
                                    

Seorang gadis sedang melamun di depan meja pelanggan. Tangannya tampak sedang sibuk membersihkan meja sedangkan matanya menatap kosong ke arah meja yang dibersihkan. Teriakan pelanggan yang memanggilnya tak mampu mengusiknya dari lamunannya. Hingga Icha sahabatnya menghampirinya dan menepuk pundaknya.

"Ra udah belum bersihin mejanya ? pelanggan pada manggil tuh ?" tepukan Icha membuat Amara sadar dan menghampiri pelanggan yang hendak memesan. Gadis itu beberapa Minggu ini tak fokus dengan pekerjaannya setelah mendengar pernyataan Lubna yang dengan mudahnya mengikhlaskan kepergian Brian.

Semakin malam pelanggan semakin ramai. Kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan anak muda. Apalagi malam ini adalah malam Minggu yang menambah jajaran pelanggan toko roti milik Budi dan Nara. Keramaian toko tersebut tak membuat Amara berpaling dari lamunannya. Beberapa Minggu ini di bahkan menghindari Lubna yang sering datang ke toko bahkan sampai ke asrama untuk bertemu dirinya. Bukannya marah, Amara hanya malu untuk menampakan diri di hadapan Lubna. Bagaimana dia bisa di sebut dengan sahabat jika dialah penyebab utama rasa sakit Lubna ? itulah yang dipikirkan Amara.

Ponsel Amara bergetar sejak tadi, tapi yang pemilik tak berniat sedikitpun untuk mengangkatnya. Icha yang melihat ponsel tersebut menyenggol pinggang Amara.

"Ra itu ada telepon dari Una lho" Amara hanya melihat ponselnya sekilas dan kembali duduk terdiam ditempatnya.

"Emang kalian kenapa si ?" masih tidak ada jawaban. Amara melenggang pergi menuju pelanggan yang tengah melambaikan tangan kepada dirinya. Icha mendengkus kesal.

"Ini anak kenapa si gak biasanya jadi pendiam gini" gerutu Icha.

Jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, pelanggan yang tadinya ramai berangsur sepi. Para karyawan toko memulai membersihkan toko dan memberikan pengertian pada pelanggan bahwa toko akan segera tutup. Tepat pukul sebelas toko telah ditutup dan para karyawan pulang ke asrama bersama-sama.

Sampai di asrama, Icha nyelonong ke kamar Amara dan rebahan disana. Biasanya Amara akan marah dan langsung mengusirnya keluar tapi respons yang Icha harapkan berbeda. Amara terdiam dan duduk di kursi meja belajarnya dengan pandangan kosong menatap buku-buku di rak tersebut. Icha mengernyitkan dahi dan mendekati Amara.

"Ra kamu kenapa si ? cerita kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Kamu jadi pendiam gini aku gak suka tau" Amara yang mendengerkannya membalik kursi menghadap Icha yang sedang duduk di tempat tidurnya.

"Kamu marahan sama Lubna ?" tanya Icha lagi. Amara menggeleng yang membuat Icha heran.

"Aku malu sama Lubna Cha"

"Malu kenapa ?" tanya Icha dengan nada menuntut.

"Aku malu jadi sahabat Lubna, apa aku pantas disebut sahabat jika aku adalah sumber utama sakit hati sahabatku padahal dia selalu ada saat aku berada di titik paling bawah" Icha semakin bingung dengan penjelasan Amara. Icha meraih ponselnya dan melakukan panggilan ke Lubna.

"Sumpah ya aku semakin bingung sama omongan kamu, tolong bicara yang jelas Ra"

"Brian Cha, ternyata Brian itu adalah Putra yang selalu di ceritain Lubna. Yang sempat mau melamarnya tapi tiba-tiba Brian membatalkannya di hadapan semua keluarga besar Lubna. Dan sekarang malah aku menceritakan masalahku sama Lubna yang jelas-jelas sedang dalam tahap mengiklaskan. Coba kamu bayangin, setiap hari aku cerita tentang Brian sama dia padahal dia mau ngelupain Brian. Sahabat macam apa aku ini Cha ?" Icha memeluk Amara dan membiarkannya tersedu-sedu di bahunya.

Di seberang sana Lubna yang mendengar cerita Amara ikut menangis terisak. Lama Amara menangis, Icha hanya bisa menepuk-nepuk bahunya dan memberinya kekuatan. Amara tertidur setelah kelelahan menangis. Panggilan telepon masih tersambung, Icha keluar setelah menyelimuti Amara dan ingin berbicara dengan Lubna.

Hijrahku Menamukanmu (Takdir Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang