Bab 23 Pernyataan Gila

52 0 0
                                    


"Aku suka sama kamu, kamu mau jadi pacarku ?"

Mata Amara membola terkejut dengan pernyataan gila Bima. Amara bangkit dari tempat duduk dan pergi tanpa kata bahkan salam pun tidak. Bima yang terkejut dengan reaksi Amara kemudian berlari mengikuti Amara.

"Ra, gimana ?" Amara masih tidak menjawab dan terus berjalan mengabaikan Bima. Bima berhasil mendahului Amara dan berdiri di depannya. Amara terus saja beristigfar dalam hati dan menundukkan kepalanya.

"Ra" panggil Bima lagi. Amara menarik nafas mencoba untuk tetap tenang.

"Kak mohon maaf tapi saya nggak pacaran kak, tolong minggir saya masih ada urusan" Bima masih kekeh dengan pendiriannya dan terus mengikuti langkah Amara. Amara berlari kecil tetapi Bima masih mengikutinya.

Di perkiran, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan Bima dan Amara yang tengah berlari-larian ria. Orang tersebut mengetahui ekspresi Amara yang sedang kesal karena kelakuan Bima karena orang itu mengenal Amara sangat lama.

Amara yang kesal tiba-tiba menghentikan langkahnya, kemudian di ikuti dengan Bima yang juga berhenti "Aku nggak mau pacaran Kak Bima karena aku sudah punya calon suami, tolong jangan ganggu saya" jawabnya lantang dengan memejamkan matanya. Tak sepenuhnya dia bohong karena dia memang punya calon suami tapi belum kelihatan siapa calon suaminya.

Amara terkejut ketika membuka matanya karena di belakang Bima ada seseorang yang dia kenal tengah berdiri mematung. Amara berbalik dan langsung berlari. Bima masih dalam keadaan mematung di tempat setelah mendengar pernyataan Amara. Sedangkan Brian, ya lelaki itu adalah Brian. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba ada di dekat parkiran kampus Amara.

Brian yang melihat Amara berlari langsung mengejarnya tanpa memperdulihan lelaki yang tadi mengganggu Amara. Bahkan sekedar melihat wajahnyapun dia tak ingin. Jarak asrama Amara dan kampus cukup dekat hanya 10 menit, jika jalan kaki. Tapi kali ini Amara memilih menunggu bus kampus di halte depan fakultasnya.

Amara mengerjapkan matanya tak percaya ketika melihat Albi masih duduk disana. 'Lah Mas Albi ngapain nunggu bus, biasanya pake motor. Ya Allah kenapa Kau mempertemukanku dengan mereka semua di hari yang sama ya Allah' batin Amara sambil melangkah mendekati Albi.

Albi yang tengah fokus mendengarkan ceramah di ponselnya tak sadar dengan kehadiran Amara. Amara menengok ponsel Albi sekilas dan mendapati pria itu tengah mendengarkan live streaming ceramah Ust. Riza Basalamah. Amara segera duduk di pojok bangku halte yang jaraknya sekirat 2 meter dari tempat Albi duduk. Amara membuka ponsel dan menonton video yang sama dengan Albi.

Dari pintu gerbang fakultas Brian tengah memperhatikan Amara yang duduk Albi. Dari Amara mendekati Albi hingga duduk di sebelah Albi. Dari jarak pandang Brian Amara seperti tengah duduk di samping Albi 'Apa itu calon suami Amara ? Mas Albi ? Kakak Lubna ?' batinnya.

Tanpa berpamitan Amara mengambil bus pertama menuju ke arah selatan, sedangkan Albi menunggu bus setelahnya yang mengarah ke utara. Jangankan berpamitan menyapa saja tidak. Amara merasa malu saja kalau harus menyapa Albi terlebih dahulu apalagi Albi sedang menggunakan earphone. Brian diam-diam mengikuti Amara, dia ingin mengetahui tempat tinggal Amara.

Amara berjalan menuju asrama tempat dinggalnya, setelah sampai di teras tiba-tiba suara Brian mengucapkan salam terdengar sangat dekat dengannya. Amara kebalikan tubuhnya dan terdiam terpaku melihat Brian sudah berasa di depannya. Amara menunduk dan membalas salam Brian dengan suara tersendat-sendat. Orang yang hampir setahun dia hindari kini muncul dihadapannya.

"Kenapa kamu ada di sini ? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini"

"Bukannya tadi di kampus kamu sudah melihatku ? kenapa terkejut ?"

"Pertanyaan bukan dijawab pertanyaan" ketusnya

"Oke, aku jawab tapi biarkan aku duduk dulu ya, aku capek" Brian mengambil tempat duduk yang ada di samping pintu asrama Amara.

"Ada apa ?" tanya Amara dingin meskipun dalam hatinya masih tersisa setitik rasa suka pada Brian.

"Tadi itu calon suamimu ?" tanya Brian sedikit lirih. Amara mengernyitkan dahinya mencoba berpikir siapa yang Brian maksud sebenarnya.

"Yang tadi kamu samperin pas di halte depan fakultas" lanjut Brian memperjelas.

"I..iya itu calon suamiku, kamu pasti sudah kenal kan siapa dia, kamu bahkan juga pernah bertemu waktu mereka ke rumahku"

"Bukannya beberapa bulan lalu aku juga melamarmu ? bahkan kamu belum menjawab lamarannku"

Tanpa menjawab Amara melangkah menuju pintu dan berniat untuk masuk ke dalam asrama. Langkahnya terhenti setelah membuka pintu asrama, yang ternyata sudah ada Lubna di dalam. Mata Lubna terlihat sembab dan terdapat bekas air mata di sudut matanya.

"Una ? sudah lama ?" Lubna memaksakan senyumnya dan menjawab dengan anggukan yang membuat Amara semakin bingung.

Brian yang mendengar Amara menyebut nama Lubna langsung merasa gugup. Lubna berjalan keluar mendekati Amara yang masih di ambang pintu.

Deg

Mata Lubna langsung bertabrakan dengan mata Brian. Lubna kemudian menunduk dan berpamitan dengan Amara. Lubna berjalan dengan langkah cepat, sedangkan Brian yang semula diam langsung berpamitan dan menyusul kepergian Lubna. Amara yang merasa ada yang janggal mengikuti mereka secara diam-diam.

Langkah kaki Lubna yang cepat tetap tidak mampunya menjauh dari Brian. Nyatanya Brian dapat mengikuti langkahnya bahkan langsung menghadang jalannya.

"Na, kamu masih dendam sama saya ?" Lubna terdiam dan menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi setelah mendengar Brian benar-benar ingin bersama Amara.

"Tolong maafin saya Na, kamu pasti tau kan kalau menjadi pendemdam itu dosa ?"

"Aku sudah maafin kamu Putra, tapi maaf aku gak bisa melupakan kelakuanmu saat itu. Saat kamu mempermalukanku di depan keluarga besarku. Kamu ingat ? Kamu yang datang ke rumahku dan kamu juga yang menolakku di depan semua orang"

Amara yang mengikuti mereka dan bersembunyi di balik pohon terdiam memaku ketika mendengar pernyataan Lubna. "Jadi laki-laki yang di ceritakan Una selama ini adalah Brian ? Brian Saputra ?" batin Amara.

Brian menatap Lubna yang menunduk dan terisak. Brian merutuki kebodohannya saat itu yang tak bisa menolak keinginan orang tuanya dan berakhir dengan mempermalukan keluarga Lubna.

"Aku tau Na, aku memang bodoh aku memang jahat. Aku gak bisa dengan tegas menolak keinginan papa dan mama. Aku yang salah, aku minta maaf" Brian berbicara dengan penuh penyesalan.

"Udah Put, aku udah maafin kamu. Lebih baik sekarang kamu memantapkan hatimu buat Amara anggap ini tidak pernah terjadi. Amara itu masih sayang sama kamu. Aku minta tolong jangan pernah kecewain Amara. Aku pamit masih ada urusan lain Assalamualaikum" Dengan berat hati Lubna mencoba mengikhlaskan Brian dan melangkahkan kaki pergi meninggalkan Brian.

Amara yang masih setia bersembunyi di balik pohon menitihkan air mata. Sahabatnya Lubna merelakan Brian untuknya ? Bagaimana bisa ? pertanyaan tersebut terus terulang di kepala Amara. 

Hijrahku Menamukanmu (Takdir Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang