Bab 18 Semua Butuh Waktu

63 0 0
                                    


Setelah Lubna dan Albi pamit, Amara menuju kamarnya yang tadi di tempati oleh Lubna. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia berpikir tentang keadaan Lubna yang terlihat memendam kekesalan dan kemarahan dalam dirinya. Lubna yang selalu ceria, tersenyum bersemangat ternyata memiliki beban yang sedang dia pendam. Amara pendudukan tubuhnya dan bersandar di sandaran tempat tidur. Dia memejamkan mata mengulang kembali setiap kejadian.

Dia sangat ingat waktu turun dari mobil Lubna tampak bersemangat dengan semu manis yang selalu ditampikannya. Kemudian saat berhadapan dengannya tiba-tiba senyuman cerianya hilang. Tidak hanya dia, tapi Albi juga sama seperti ada kilatan amarah yang melesat di matanya. 'Apa mereka marah denganku ? tapi apa salahku ?' Amara bergumam dan memikirkan kejadian demi kejadian.

Kemudian dia teringat sesuatu, tanpa dia sadar Brian mematung dan terlihat sangat terkejut ketika melihat Albi dan Lubna mendekati dirinya. 'Apa mereka kenal dengan Brian ? Tapi.. tunggu bukankan Brian waktu kecil di besarkan di Semarang juga dan dia juga baru pindah ke Jakarta saat SMP kan. Itu berarti waktu SD Brian sekolah di Semarang. Apa mungkin Lubna dan Brian adalah teman kecil ? Kalau iya kenapa mereka tidak bertegur sapa ? Apa yang sebenarnya terjadi ?' Amara menerka-nerka permasalahan antara Lubna, Albi dan Brian.

Amara meraih ponselnya dan segera dia menghubungi Brian. Tapi Brian tak kunjung mengangkat telepon darinya. Tak hanya sekali, bahkan Amara menelponnya beberapa kali tapi hasilnya nihil. Tidak ada satupun panggilan Amara yang di jawab oleh Brian. Amara beralih mengetikkan pesan kepada Brian

Brian aku ingin berbicara denganmu ini penting. Aku mohon angkat panggilan dariku

Terlihat pesan telah terkirim tetapi Brian tak kunjung membacanya. Mungkin dia sedang sibuk pikirnya. Amara beranjak dari tempat tidurnya dan mulai membersihkan diri.

Amara melirik ponselnya tapi Brian tak kunjung membelasnya. Amara kemudian meninggalkannya ke dapur untuk membantu Rosa memasak untuk makan malam.

"Mama nanti Amara izin mau ke Rumah Brian ya ?" tanya Amara yang kini sedang mencuci sayuran.

"Tadi kan Brian udah ke sini Ra, masih kurang melepas kangennya ?" Amara langsung merespon dengan mata melotot tampak terkejut dengan ucapan mamanya.

"Bukan ma Amara ada kepentingan sedikit bukan masalah perasaan. Mama nih ih" Rosa tersenyum jahil kepada Amara dan memicingkan matanya

"Oke mama percaya tapi nanti mama intip brownies buat tente Sari ya" Amara mengangguk dan meneruskan acaramasak-masakknya dengan mamanya.

***

Amara membawa bingkisan yang dibawakan oleh Rosa untuk Sari. Rumah Amara dan Brian hanya beda satu blok. Jaraknya memang dekat tapi kalau pake sepeda ya, kalau jalan kaki ya lumayan menguras tenaga si.

"Assalamualaikum tente Sari" Amara tampak mengetuk pintu rumah Brian yang terlihat sederhana dengan dua lantai dan bercat putih tak lupa pepohonan di depan rumah yang membuat udaha disana sangat sejuk

Amara mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali, kemudian terdengar sahutan dari dalam. Sari membukakan pintu dan terlihat terkejut dengan kedatangan Amara, karena terakhir Amara mendatangi rumahnya sebelum Brian kuliah.

"Tumben Ra kamu kemari, oh iya gimana keadaan papamu ? maaf ya tente sama om belum sempat ke sana soalnya kami baru pulang dari Semarang" Amara hanya meng-iyakan ucapan Sari. Sari mengajak Amara masuk kerumah. Amara terlihat celingukan mencari seseorang.

"Tante kok sepi emang pada kemana ?" tanyanya sembari mengedarkan pandangannya ke semua penjuru ruangan. Sari tersenyum melihat tingkah laku Amara.

Hijrahku Menamukanmu (Takdir Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang