Bab 9 Secukupnya Saja

68 0 0
                                    

Selepas sholat magrib mereka tak langsung bergegas melainkan menunggu waktu Isya'. Disela-sela menunggu mereka juga mendengarkan ceramah singkat yang dilaksanakan setelah sholat magrib.

Setelah sholat isya', Amara bergegas membereskan mukenanya dan langsung menghampiri Lubna yang tengah menggunakan kaos kaki.

"Una anterin aku beli baju yuk" Lubna menghentikan aktivitasnya dan menatap Amara

"Buat ?"
"Ya ini.." Amara menunjukkan badannya yang memakai gamis yang ddipinjamnya dari Lubna

"Oh boleh abis ini kita ke toko Muslimah langganan aku ya" Amara menganggukkan kepala dengan riang gembira.

Mereka akhirnya menuju toko yang dimaksud oleh Lubna. Jaraknya cukup dekat dengan kampus sehingga hanya butuh waktu 5 menit naik motor untuk sampai ditempat tersebut.

Amara mulai memilih-milih gamis dan rok kerja untuk memulai perubahannya. Batinnya mengatakan langkah awal perubahannya adalah dengan menutup auratnya sesuai syariat. Dia mengingat berapa baju longgar yang dia punya. Sebelumnya dia juga sudah meminta seragam baru yang lebih longgar kepada Om Budi. Amara mengambil beberapa sel gamis dan juga rok longgar untuknya bekerja. Amara terlihat membawa banyak sekali gamis menuju ke kasir. Lubna yang melihat Amara pun menghentikannya.

"Ra.. kamu yakin beli sebanyak ini ?" Amara menganggukkan kepala dan menunjukkan senyumnya

"Jangan tabdzir Ra" Lubna mengembalikan beberapa gamis dan menyisakan 1 stel gamis dan 3 rok wiru untuk bekerja

"Kok dikembaliin si Na, aku butuh lho. Trus Dzir Dzir itu apa ?" Lubna tersenyum dan menggandeng Amara mencari tempat duduk yang disediakan toko

"Sini.. tabdzir itu pembohosan. Kamu tau yang kamu lakukan itu namanya tabdzir, Allah nggak suka orang yang boros dalam Surah Al-Isra bayar 26-27 dijelaskan 'dan berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemborosan adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya. Kamu mau jadi saudaranya syaitan ?" Amara menggeleng keras.

"Makanya beli secukupnya aja ya ?"

"Tapi Na, aku tu nggak ada baju yang kaya kamu gini makanya aku beli itu semua, itu aja aku rasa masih kurang apa lagi Cuma ini" Amara mengangkat barang yang dipilihkan Lubna

"Udah ini aja, kalau kamu mau aku masih ada baju yang kaya gini dan masih bagus, itu semua hadiah dan belum aku pakai jadi masih baru. Kamu mau pakai ?" Amara mengangguk kegirangan.

Sebenarnya dia juga sangat bersyukur tidak jadi kanker (kantong kering) di awal bulan. Tapi karena niatnya berubah akhirnya dia merelakan uangnya untuk membeli baju, tapi syukur dalam hatinya kembali membuncah ketika uang itu tidak jadi berpindah tangan ke kasir karena Lubna dengan senang hati memberikannya baju syar'i untuknya.

Setelah membayar bajunya yang dibelinya Amara dan Lubna menuju ke rumah Lubna. Mereka mengucapkan salam dan disambut hangat oleh orang tua Lubna. Mereka bersalaman dan pamit untuk ke kamar mencari gamis yang tadi ditawarkan Lubna pada Amara.

"Baju kamu warnanya kalem-kalem ya Na, kebanyakan warna Navy sama hitam. Terus juga nggak terlalu banyak untuk ukuran cewe" Lubna menanggapinya dengan tersenyum

"Emang gitu, sederhana dan nggak jadi pusat perhatian, terus bajunya juga secukupnya yang penting ganti. Tadi warna yang kamu pilih itu kesannya mencolok dan bisa jadi pusat perhatian makanya aku kebalikan"

Lubna mengambil beberapa gamis warna pastel yang masih terlipat rapi bahkan ada yang masih dalam plastik dan memberikannya pada Amara.

"Ini dicoba dulu ya kalau ada yang terlalu ketat tinggal aja bulan depan biar aku sumbangin"

"Ini si masih bagus-bagus banget. Baunya aja masih baru banget belum bau sabun" Amara mencium baunya dan ekspresinya membuat Lubnya tersenyum geli. Amara memilih gamis dan jilbab yang dirasa cocok dengannya.

"Ini katamu tadi mau disumbangin ?" Lubna mengangguk

"Sayang banget padahal masih bagus gini" Lubna tersenyum dan mengambil duduk di samping Amara

"Ara barang yang disumbangin nggak harus jelek, bahkan dalam surah Al-Baqarah ayat 267 dijelaskan 'Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sediri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah. bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji'. Jadi malah kita dianjurkan untuk menyedekahkan barang yang kita cintai" Amara mengangguk paham dengan apa yang dimaksudkan temanya itu.

Selama ini dia mengira bahwa dia memiliki jiwa sosial yang tinggi tapi setelah mendengarkan jawaban dari Lubna dia sadar dia bukan apa-apa. Dia bahkan belum bisa mengiklaskan apa yang pernah menjadi yang terbaik untuknya. Lubna sejenak tenggelam dalam pikirannya yang tiba-tiba memikirkan Brian. Haruskah dia mengikhlaskannya untuk pergi ? tanyanya dalam hati. Perkataan Lubna seketika membuatnya sadar bahwa kadang kita berlu mengikhlaskan yang kita cintai baik itu orang, barang atau apapun yang ada di dunia. Karena sejatinya kita semua adalah milik-Nya.

"Ara..." panggilan Lubna seketika menyadarkan Amara dari lamunannya

"Eh ... iya Na, aku ambil yang ini ya" Amara melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan

"Kayaknya udah Malem deh aku mau pulang ya"

"Bentarlah belum juga setengah jam kita dirumahku. Apa kamu nginep aja disnini ?" Lubna menaik turunkan alisnya

"Eh ngawur dirumah ini kan ada Mas Albi nggak enak lah"

"Eh iya lupa" Lubna meringis. Tiba-tiba ada ketukan pintu dari luar.

"Na ayo kita makan dulu, ajak temenmu juga sekalian kita makan bareng" teriak Rumi-Mama Lubna dari balik pintu

"Iya mamaku sayang on the way"

"Yuk makan bareng Ra" lanjut Lubna

"Nggak usah lah aku langsung balik aja deh, nggak enak sama mama dan papamu udah jadi tamu bawa segini banyak barang udah kaya rampok terus minta makan juga. Berasa nggak ada akhlak aku tu" Lubna terkekeh dengan penuturan Amara.

"Ya nggak lah Ra, ini tuh dari aku terus kalau masalah makanan itu perlakuan tuan rumah kepada tamunya. Menjamu tamu dengan baik itu kewajiban lho Ra"

"Tapi sungkan lho Na"

"Gini dengerin bentar Ibnu Abas pernah mengisahkan tentang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda 'jika ada tamu masuk ke dalam rumah seseorang mukmin, maka akan masuk bersama tamu itu seribu berkah dan seribu rahmat. Allah akan menulis untuk pemilih rumah itu pada setiap kali suap makanan yang dimakan tamu seperti pahala haji dan umrah' Jadi kamu harus ikut aku makan.

Lubna merarik tangan Amara ke ruang makan. Rumi langsung mempersilahkan Amara untuk bergabung dengan mereka.

Hijrahku Menamukanmu (Takdir Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang