Empatpuluh Lima

250 7 0
                                    

Sudah hampir 3 jam Jeffran duduk di depan ruang operasi. Selama itu pula dirinya mondar-mandir dengan gelisah. Sebentar duduk sebentar berdiri lalu berjalan bolak-balik didepan pintu ruang operasi. Hal itu membuat Dirga yang sedari tadi duduk disebelahnya jengah.

"Lo bikin gue pusing Kak! Plis duduk aja elah" ucap Dirga jengah

"Gue panik! Mana bisa tenang!" sahutnya cepat

"Ya gue juga panik. Tapi gak bikin pusing dengam mondar-mandir kayak gitu" balas Dirga tak mau kalah.

Beberapa menit kemudian lampu ruangan itu mati tanda bahwa operasi telah selesai. Tak lama Dokter keluar dari ruangan itu dengan wajah lelahnya.

"Gimana dok?" tanya Jeffran begitu melihat Sang Dokter keluar dari ruangan.

"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kondisi pasien benar-benar buruk. Detak jantung pasien sempat berhenti. Untuk saat ini pasien dinyatakan koma." jelas Dokter itu dengan wajah menyesal.

"Apa? Koma Dok?" sahut Dirga dengan wajah blank

"Pendarahan pada otaknya sempat membuat pasien kritis. Untuk saat ini pasien akan dipindahkan ke ruang ICU agar selalu terpantau oleh tim Dokter." sambung Dokter itu

"Apa Quenn sudah bisa dijenguk?" tanya Jeffran lagi

"Bisa. Hanya satu orang saja. Kalau begitu saya pamit"

"Terima kasih Dok" ucap Dirga dan Jeffran bersamaan.

Tungkai Dirga melemas usai mendengar penjelasan dokter tadi. Rasa bersalahnya semakin besar. Quenn koma? Bagaimana caranya untuk meminta maaf setelah ini?

"Lo boleh jenguk dia. Jangan lama-lama" ucap Jeffran lalu pergi dari tempat itu.

Saat memasuki ruang ICU hanya terdengar bunyi alat pendeteksi jantung. Sunyi. Sunyi sekali. Tapi Dirga tidak menyukai kesunyian ini. Dilihatnya Quenn yang sedang tertidur nyenyak diatas bangkar. Tidak peduli dengan berbagai alat penunjang kehidupan yang menempel ditubuhnya Quenn tetap tertidur. Nafasnya teratur dan wajah ayunya terlihat damai.

Setelah menguatkan hatinya, Dirga perlahan mendekat untuk duduk dikursi yang disediakan di sebelah bangkar. Dari tempat duduknya Dirga semakin melihat jelas bagaimana luka-luka itu menghiasi tubuh dan wajah Quenn. Luka dipipi dan hidungnya terlihat masih sangat basah. Luka pada lengan dan jari-jari indahnya juga terlihat sangat jelas. Belum lagi kaki kirinya yang sedang menggantung berbalut gips.

"Quenn.. I'm so sorry" ucap Dirga lirih. Air matanya turun begitu saja. Melihat Quenn-nya dalam keadaan terburuk bahkan tidak pernah terbayangkan olehnya.

"Gimana bisa aku korbanin kamu kayak gini Quenn? Kamu kenapa kejar aku? Harusnya aku yang ada disini Quenn." tangan Dirga terangkat untuk mengelus tangan kanan Quenn yang tidak terluka.

"Quenn boleh kok istirahat. Tapi jangan lama-lama ya? Aku juga pengen ngobrol Quenn. Aku pengen liat Quenn senyum lagi. Aku pasti dateng tiap hari nemenin Quenn. Quenn jangan bosen ya? Hiks" Dirga terisak. Tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Kondisi Quenn benar-benar buruk. Quenn masih bisa bernapas untuk saat ini adalah suatu keajaiban. Dirga beranjak untuk pergi. Dengan rasa tidak rela Dirga melangkah ke luar ruangan. Disana sudah ada Jeffran dan Aldo yang menunggunya.

"Lo disini?" tanya Dirga ketika melihat Aldo berdiri didepan pintu ruangan.

"Ya lo pikir?" jawab Aldo sewot.

"Gue gak tega liat Quenn kayak gitu. Gue.. " ucapan Dirga tertahan ditenggorokan. Rasanya sangat sesak. Dadanya seperti tertimpa batu besar.

"Lo lebih baik pulang aja. Ini udah malem. Lo juga harus istirahat" saran Jeffran sambil menepuk pundak Dirga. Bagaimana pun Dirga tetap orang yang penting untuk Quenn. Jadi Jeffran berusaha bersikap dewasa dan menengahi para remaja yang sedang emosional.

QUENNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang