Delapan

664 21 0
                                    

Quenn memasuki pekarangan rumahnya dengan bibir yang tersenyum. Tak henti-hentinya Quenn memikirkan Aldo yang tadi bernyanyi. Quenn sangat mengagumi Kakak kelasnya itu. Aldo itu sosok lelaki yang sangat cool, pandangannya mematikan detak jantung setiap wanita. Wajahnya yang tampan itu menambah kharisma seorang Aldo.
Baru saja meletakkan tasnya dimeja belajar Quenn mendengar ponselnya berbunyi nyaring. Panggilan dari kekasihnya Bian.
“Halo Quenn. Bisa ketemu sekarang?” suara laki-laki terdengar
“Ada apa? Harus sekarang ini?” Quenn berpikir apakah begitu pentingnya sampai harus ketemu sekarang juga.
“Iya Sayang. Aku jemput 5 menit lagi.” Bian mengakhiri panggilan sepihak. Tanpa mendengar penjelasan Quenn.
Tanpa pikir panjang Quenn melempar ponselnya keatas kasur. Berlari ke kamar mandi untuk membersikan badan dan berganti pakaian. Hubungannya dengan Bian sudah berjalan dua minggu. Tak biasanya Bian menjemput Quenn secara tiba-tiba seperti ini. Ini masih terlalu siang, Ada apa ?
Bunyi klakson mobil Bian terdengar dari kamar Quenn. Segera Quenn berlari dan mengunci pintu rumahnya. Sebab tak ada siapapun yang menghuni. Kedua orangtua Quenn masih bekerja pada jam-jam seperti ini.
“Sorry lama ya?” Quenn membuka pintu mobil Bian dengan napas tersenggal-senggal.
Bian tersenyum lalu memakaikan seatbelt seperti biasa. “Aku bikin kamu lari-lari ya?” tanya Bian
“Hem. Aku tadi baru aja masuk kamar terus kamu ngajakin ketemu. Ya udah maraton deh akhirnya.” Jawab Quenn dengan polosnya.
Bian hanya tersenyum mengacak rambut Quenn yang selalu membuatnya gemas.
“Kita mau kemana sih Bi?” tanya Quenn penasaran.
“Ke suatu tempat sayang.” Jawab Bian santai
Senyum Quenn mengembang mendengar kata sayang dari Bian. Meskipun kata itu biasa saja. Tapi sangat membekas dihati Quenn. Sudah lama sejak saat itu, Quenn tidak pernah sebahagia ini.
Mereka sampai diparkiran sebuah tempat wisata alam. Dari parkiran mereka harus menempuh perjalanan satu jam berjalan ke atas bukit. Bian meraih tangan Quenn dan Menggenggamnya. Dada Quenn berdesir, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
“Jangan lepas dari genggamanku. Aku takut Kamu hilang.” Menatap Quenn sangat dalam.
Quenn tersenyum, wajahnya berubah padam. Quenn hanya menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang sedang merona.
“Minum dulu. Duduk sini.” Bian duduk disebuah batu besar dan menyodorkan minuman kepada Quenn.
“Loh udah disiapin ternyata?” Quenn duduk meminum air mineral pemberian kekasihnya.
“Iya dong. Jangankan mineral, punggung aku juga udah siap buat gendong kamu ke atas bukit.” Bian melirik Quenn dengan wajah menggoda
“Apasih kamu gombalin aku terus. Kan aku jadi malu.” Quenn mengerucutkan bibirnya.
“Jangan malu Quenn. Ntar aku gemes. Jadi pengen cium kamu.”
Blushh
Udara dihutan sangat sejuk. Entah bagaimana Quenn merasa sangat gerah. Wajahnya memanas merah jambu. Lagi-lagi Quenn menunduk. Bian terkekeh melihat tingkah Quenn yang malu-malu.
“Ayo jalan lagi.” Bian menggenggam tangan Quenn lagi.
Quenn mengangguk. Hari ini akan menjadi sejarah untuk Quenn. Pasalnya Quenn belum pernah diperlakukan semanis ini dengan pria manapun.
“Capek atau laper?” tanya Bian
“Enggak laper. Capek dikit.” Jawab Quenn singkat.
“Gendong jangan ?” Bian membungkuk bersiap menggendong Quenn.
“Jangan. Ntar jatuh. Aku takut ini tinggi banget.” Quenn mengeratkan genggamannya.
Quenn baru menyadari jika saat ini dirinya hampir berada diatas bukit. Quenn takut, Quenn phobia ketinggian. Apa Bian melupakan hal itu?
“Jangan takut. Aku disini.” Bian mengusap rambut Quenn pelan
Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai dipuncak bukit. Pemandangan yang disuguhkan begitu indah. Tuhan menciptakan semestanya sangat indah. Bahkan Quenn sampai melupakan ketinggian bukit ini. Quenn takjub
“Ciptaan Tuhan memang sangat indah bukan ? Seperti kamu.” Bian memandangi wajah Quenn yang sangat cantik dan menggemaskan.
“Udah deh. Kamu gombal terus. Aku bisa pinsan ini meleleh.” Quenn memegangi pipinya yang padam.
Bian terkekeh. Bian mengajak Quenn duduk untuk istirahat. Membiarkan Quenn menikmati pemandangan dari atas bukit ini. Walapun Quenn tidak pernah melepas genggaman tangan Bian. Karna Quenn tidak akan bisa berdiri sendiri diketinggian.
***
Bian memberanikan diri mengucapkan tujuannya membawa wanitanya kesini. Sengaja Bian mengajak Quenn datang ke tempat setinggi ini agar Quenn tidak lari saat Bian menyampaikan kenyataan pahitnya.
“Quenn..” panggil Bian lirih.
Quenn menoleh dengan pandangan yang dalam. Membuat Bian ragu mengucapkan keputusan terbesarnya.
“Aku mau bicara sesuatu. Tujuanku mengajak kamu kesini, aku mau menyampaikan kalo aku.. aku-” Bian menghentikan perkataannya mengambil nafas sejenak.
“Kamu apa Bi?” Quenn penasaran.
“Aku harus pergi ke Prancis untuk kuliah kedokteran.” Bian berkata dengan menahan nafas.
Mata Quenn membulat, Ia terkejut bukan main. Dia mengira Bian akan menemaninya sampai luka hatinya sembuh. Tapi ternyata Bian menambah luka hati Quenn. Air mata Quenn jatuh. Bian menatapnya nanar.
“Aku minta maaf. Aku pergi untuk kembali Quenn. I Love You.” Bian memeluk Quenn erat. Menenggelamkan Quenn di dalam dadanya. Membiarkan Quenn menumpahkan semua air matanya.
“Aku sengaja mengajak kamu kesini. Karna aku tau kamu pasti lari. Disini kamu gak akan lari. Kamu akan tetap menggenggamku Quenn.” Bian mengelus rambut Quenn.
“Kenapa Bi? Kenapa kamu dateng buat goresan luka disebelah lukaku yang belum kering.” Quenn menangis sejadi-jadinya.
“Aku tau ini menyakitkan. Tapi sejujurnya aku udah mengajukan beasiswa ke Prancis satu bulan yang lalu. Itu sebabnya aku belum bisa ngasih kamu kepastian yang kamu minta. Aku sayang Kamu Quenn. Aku takut kehilangan kamu.” Bian mengecup puncak kepala Quenn.
Quenn terdiam, memikirkan sakit hatinya. Tapi Quenn enggan menjadi wanita egois. Bian pasti sangat mengharapkan beasiswanya ini. Quenn mencoba menguatkan dirinya. Quenn menghapus air matanya. Menatap Bian dengan mencoba tersenyum.
“Bi .. Aku juga sayang kamu. Tapi aku gak akan egois menahan kamu disini. Ini pasti hal terpenting yang kamu inginkan dari dulu kan? Aku akan berusaha ikhlas Bi.” Quenn menahan air matanya agar tidak menggoyahkan kekuatan Bian.
“Kamu serius? Kamu mengizinkan aku pergi kesana?” Bian mengerjap tak percaya.
“Iya. Tapi aku gak bisa nerusin hubungan kita. Aku gak mungkin bisa LDR Bi.” Quenn menunduk
“Aku tau sayang. Aku akan berusaha jaga hati aku untuk kamu Quenn. Aku pasti kembali.” Bian mendongakkan wajah Quenn, mendekatkan wajahnya. Jarak mereka hanya beberapa senti.
“Jangan seperti itu. Kembalilah saat kamu sudah jadi dokter hebat. Aku tak apa jika kamu bisa menemukan wanita yang sangat mencintaimu nanti.” Quenn menatap wajah Bian yang sangat dekat. Degup jantungnya meningkat.
“Boleh?” Bian meminta izin untuk mengecup bibir Quenn.
Quenn memejamkan mata. Mengangguk pelan mengizinkan Bian menciumnya untuk yang terakhir kali.
“Buka mata kamu Quenn.” Bian menempelkan bibirnya sangat lembut dan perlahan. Mengelus wajah cantik Quenn dengan hangat.
Quenn kembali menangis. Bian memeluk Quenn kembali. Bian membiarkan Quenn menumpahkan segala emosinya. Setelah satu jam Quenn menangis, dia melemah. Perjalanan menaiki bukit sangat menguras kekuatan Quenn. Bahkan sejak pagi Quenn belum makan sama sekali. Menangis membuat Quenn semakin kehilangan tenaganya.
“Makan ini dulu. Kamu belum makan dari pagi kan? Maaf aku lupa mengajak kamu makan sebelum naik ke bukit ini.” Bian menyuapkan roti ke mulut Quenn sedikit demi sedikit.
Setelah Quenn cukup kuat, Bian mengajak Quenn untuk pulang. Bian menggendong Quenn sampai menuju parkiran. Bian mengemudi begitu cepat. Takut Quenn semakin lemah, Bian segera membawa Quenn ke rumah sakit untuk mengecek keadaannya.
***
Setelah setengah jam dokter keluar dari UGD. Quenn tidak sadarkan diri selama perjalanan ke rumah sakit. Bian sangat khawatir, Quenn sangat sering seperti ini. Bagaimana nanti saat Bian pergi ke luar negeri? Siapa yang akan mengurusnya. Quenn bahkan sangat tidak memperhatikan pola makannya.
“Dia seperti dehidrasi. Kapan terakhir Dia makan? Kondisinya sangat lemah. Dia stress dan tidak memperhatikan pola makannya. Ini sangat tidak baik untuk kesehatannya. Apa Dia sering tidak makan dalam satu hari atau lebih?” Lelaki berjas putih itu menjelaskan panjang lebar.
“Saya rasa Dia belum makan dari kemarin malam Dok. Apa Dia sudah bisa dijenguk?” Bian sudah tidak sabar ingin menjumpai Quenn.
“Bisa. Sebentar lagi Dia akan sadar. Tapi tolong jaga pola makannya. Jika Dia merasakan sakit dibagian perut tolong segera panggil saya. Akan saya adakan pemeriksaan lebih lanjut.” Tegas Dokter itu lalu pergi.
Bian segera berlari menuju kamar Quenn. Apa yang Bian lihat? Gadis berwajah pucat dan sangat lemah itu terlihat tenang diatas bangkar. Kulitnya yang putih membuatnya hampir seperti mayat. Bian baru menyadari bahwa Quenn sekurus ini. Seburuk itukah selera makannya? Apa ada obat untuk itu? Apakah itu termasuk gejala kejiwaan?
Bian duduk dibangku persis disebelah bangkar. Menggenggam tangan kanan Quenn yang sangat kurus dan pucat. Menciumnya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Seolah tangan itu sangat rapuh.
“Bii..” Quenn membuka matanya. Suaranya terdengar sangat parau dan lemah.
“Kamu sudah bangun Sayang? Apa ada yang sakit?” tanya Bian dengan wajah sangat cemas.
Quenn hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Quenn menatap langit-langit ruangan itu. Menerka-nerka dimana dirinya sekarang. Bau obat dan selang yang berada ditangan kirinya sudah menjelaskan keberadaannya sekarang.
“Kamu pingsan waktu perjalanan pulang tadi. Aku khawatir. Jadi aku bawa kamu kesini. Aku sudah menghubungi orang tuamu mereka akan datang setelah jam kerja. Aku juga tak sengaja mengangkat ponselmu saat berdering. Itu dari Rachel. Dia sedang perjalanan menuju kesini.” Bian menggenggam tangan Quenn dengan erat. Ada rasa bersalah tergambar jelas dimatanya.
Tok tok tok
Rachel memasuki ruangan Quenn dengan buru-buru tanpa menunggu jawaban. Rachel sangat khawatir. Begitupun Dirga dan Nico ikut bersamanya. Karena saat itu Dirga sedang bermain ps dirumahnya. Jadi mereka memutuskan untuk pergi bersama menjenguk Quenn.
“Quennn yaampun lo kenapa? Tadi disekolah lo baik-baik aja.” Rachel duduk diujung bangkar Quenn.
Bian sangat terkejut melihat kehadiran Dirga. Bian terlihat sangat kesal menatap Dirga dengan amarah. Mereka memang teman satu smp jadi wajar Bian mengenal Dirga.
“Lo-” Bian sudah hampir mangacungkan jarinya ke arah Dirga. Tapi tangan Quenn menahan Bian. Mengisyaratkan seolah tidak mengapa jika Dirga ada disini.
“Aku ke depan sebentar.” Bian mengusap pipi Quenn lalu pergi untuk menghindari Dirga.
Quenn hanya mengangguk menatap Bian yang sedang marah. Tatapan mata Bian sangat berbeda. Bian tau siapa Dirga. Bian terlalu tidak terima dengan perlakuan Dirga di masa lalu kepada Quenn.
“Gue lupa makan.” Quenn tersenyum tanpa tenaga.
“Lo itu kayaknya mesti di ruqyah deh Quenn. Kebiasaan lo itu gak lazim banget anjir.” Rachel menggeleng heran.
“Udah berapa kali sih Quenn lo kayak gini? Gak kapok-kapok heran.” Dirga mendekat duduk dibangku tempat Bian duduk tadi.
“Sering.” Quenn sudah kehilangan tenaga lagi melihat Dirga.
“Mending lo ubah deh kebiasaan lo ini Quenn. Ngeri gue.” Nico bergidik ngeri
“Semua butuh proses guys.” Quenn menjawab sekenanya.
“Proses gimana lagi kalo lo udah ambruk gini Quenn?” Rachel menepuk dahinya.
Dari luar Bian melihat pandangan Dirga tidak terlepas dari Quenn. Rasanya Bian ingin menghantam wajah Dirga dengan kepalan tangannya. Tapi Bian sadar tempat dan Quenn sangat tidak menyukai kekerasan. Sebab itu Bian memilih keluar untuk meredam emosinya.
“Jadi itu cowok lo yang sweet banget itu Quenn? Gila ya emang keren sih tampangnya.” Rachel menghebohkan diri.
“Masih lebih menawan gue sih.” Dirga mengangkat kerah bajunya.
“Dih. Kepedean.” Quenn melirik Dirga. “Dia mau ke Perancis.” Quenn memasang wajah sendu.
“Jadi kalian mau LDR gituu? Berat tau Quenn.” Jawab Rachel.
“Lo kuat Quenn?” Nico menimpali
“Sekuat baja dia mah.” Sanggah Dirga seenaknya.
“Gue gak bisa lah.” Ucap Quenn parau.
“Udah sih ada gue ini.” Dirga hampir memegang tangan Quenn. Dengan cepat Quenn mengangkat tangannya.
“Lo mabuk Dir? Ngelantur mulu lo anaconda.” Nico menepuk dahi Dirga.
“Diem lo cobra.” Dirga menepis tangan Nico. “Gue ke depan dulu.” Dirga berlalu
Quenn heran dengan sikap Dirga yang tiba-tiba seperti ini. Quenn hanya melihat punggung Dirga hilang ditelan pintu.
Dasar psyico!

QUENNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang