Tigapuluh Dua

206 8 0
                                    

Sudah hampir satu bulan Quenn mendekam diruang rawatnya dirumah sakit. Quenn memang sering sekali bolak balik keluar masuk rumah sakit karena kesehatannya terganggu. Biasanya Quenn hanya menginap dua atau tiga hari setelah itu pulang dengan bugar. Tapi kali ini sangat berbeda. Quenn datang dengan keadaan kacau atau lebih tepatnya memprihatinkan lalu bertahan selama berminggu-minggu dengan kondisi jiwanya tidak stabil. Quenn sendiri merasa dirinya sedang dikuasai orang lain. Bagaimana tidak? Dirinya selalu berteriak ketakutan setiap melihat sosok laki-laki jangkung bukan pria tapi laki-laki muda.

Tapi anehnya hal itu tidak berlaku kepada Dirga. Seolah-olah memang Dirga tempat Quenn berlindung. Namun disuatu waktu Quenn juga merasa bersalah saat melihat Dirga terluka karenanya. Perasaan bersalah itu sangat besar dan berujung Quenn histeris atau bergumam kacau.

Lama kelamaan Quenn merasa jengah dengan dirinya sendiri. Quenn merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Selalu dan selalu ketakutan tanpa mau membagi segala resah dan ketakutannya. Hingga suatu hari seorang Dokter psikologi datang ke ruangannya. Mengajaknya bercerita. Memberikan banyak kalimat-kalimat yang menenangkan. Entah kenapa Quenn merasa nyaman bercerita kepada Dokter itu.

Pada akhirnya Quenn berani mengunggapkan segala keresahan dan ketakutannya. Apa yang terjadi pada dirinya dihari itu. Quenn bercerita dengan tubuh bergetar dan tangis yang terasa sangat sesak. Setelah semua kejadian itu terucap tubuhnya melemah hingga tidak sadarkan diri selama 12 jam. Dokter bilang itu kondisi normal pasien pasca terapi.

Kabar baiknya kondisi Quenn berangsur stabil setelah terapi beberapa kali. Dokter juga sudah memperbolehkan Quenn untuk pulang kerumah. Tapi Quenn harus tetap minum obat dan rajin datang untuk terapi lanjutan hingga benar-benar sembuh. Kedua orang tua Quenn tentu sangat bersyukur untuk putri tunggalnya itu. Usaha mereka menyembuhkan Quenn tidak berakhir sia-sia.

Akan tetapi kedua orang tua Quenn menjadi overprotective. Mereka seperti memiliki trauma tersendiri setelah kejadian yang menimpa putri semata wayang mereka. Quenn akan dikawal bodyguard saat akan pergi kemana pun. Belum sih masih akan. Karena Quenn masih belum pergi ke sekolah saat ini. Quenn baru pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu. Pun Dokter menyarankan untuk masuk sekolah setidaknya hari ketiga setelah kepulangannya dari rumah sakit.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Quenn. Quenn yang sedang menyandarkan dirinya di headboard menoleh ke arah pintu. Tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok Ibunya dengan senyum cerah yang menular kepadanya. Ibunya membawa nampan berisi beberapa obat dan air mineral diatasnya.

"Sayang.. Waktunya minum obat." ucap sang Ibu dengan lembut. Quenn hanya mengangguk untuk menanggapi ibunya.

Sang ibu menyodorkan beberapa butir obat lalu ditelan Quenn dengan cepat.

"Dibawah ada temen kamu. Mau jengukin Quenn boleh?" tanya sang Ibu perlahan

"Siapa Mah?" Quenn bertanya balik. Belakangan Quenn merasa kehilangan semua temannya. Keadaannya yang sangat rentan membuat dirinya harus dibatasi untuk berinteraksi dengan orang luar.

"Dirga sama Aldo. Kalau Quenn belum siap ketemu Mama bilang ke mereka buat pulang dulu." tangan Dilara terulur untuk mengelus lembut kepala Quenn. Memberikan ketenangan kepada Quenn yang sempat menegang mendengar nama Aldo.

"Its Okay Ma. Quenn bisa kok ketemu mereka." jawab Quenn meyakinkan.

"Beneran sayang?" Dilara sedikit ragu. Takut Quenn kembali terguncang setelah bertemu dua orang pemicu traumanya.

"Iya Ma. Mama tenang aja Quenn pasti baik-baik aja." ucap Quenn tersenyum cerah.

" Ya sudah. Quenn tunggu sebentar ya. Nanti kalau ada apa-apa Quenn panggil Mama ya" Dilara beranjak setelah Quenn mengangguk antusias.

QUENNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang