3.7

141 16 0
                                    

-Enjoy!-

Dari balik pintu ruang rawat Kara, Anka menggumam,"sabar sebentar ya, Ra. Sebentar lagi, lo pasti akan bisa melihat dunia ini lagi."

"Gue gak setuju sama keputusan lo!" Timpal Junius yang baru saja datang bersama dengan Nando.

Nando serta Junius memang mendengar semua pembicaraan antara Anka dengan Dokter yang menangani Kara tadi.

"Ikut gue ke rooftop," titah Anka, membuat Nando serta Junius berjalan mengekori laki-laki tersebut.

°°°

Di rooftop rumah sakit...

"Lo gila ya, Ka?! Kenapa lo lebih milih ngorbanin nyawa lo sendiri demi donorin mata lo untuk Kara?!"

"Bagi gue ini bukan pengorbanan. Kara buta karena gue! Lo gak pernah tahu kan, seberapa hancurnya gue saat tahu tentang hal itu."

"Masih banyak cara lain, Ka! Bukan jalan gila kayak gini. Jalan gila yang justru semakin memperumit masalah yang sedang terjadi!"

"Cara lain apa?! Apa lo tahu cara lain itu?!"

Junius terdiam. Nyatanya, laki-laki itu memang tak mengetahui cara lain agar Kara dapat melihat kembali. 

"Diam kan lo?! Karena memang cuma cara ini yang bisa gue lakuin supaya Kara bisa lihat lagi."

Nando yang sedari tadi terdiam, kini mulai berucap, "lalu gimana sama Bunda lo? Sama Ana? Apa lo gak mikir perasaan mereka berdua? Jangan egois, Ka. Lo masih punya keluarga, dan hidup lo gak cuma berpusat sama Kara doang."

"Gue setuju sama Nando," sambung Frans seraya berjalan mendekat ke arah ketiga remaja tersebut bersama dengan Edwin.

"Om Wilson pasti juga gak akan setuju, kalau lo mendonorkan mata lo untuk Kara. Beliau pasti punya cara lain yang lebih masuk di akal sehat manusia."

"Kalau menurut kalian gue egois, terserah! Karena kalian gak pernah ada di posisi gue. Kalian gak pernah tahu hidup dengan rasa bersalah!

Sakit, Nan, Jun, Win, Frans. Sakit banget rasanya saat tahu orang yang kita sayang gak bisa lihat apapun. Hanya bisa lihat kegelapan."

Anka berjalan mendekat ke arah Frans. "Kalau Olin ada di posisi Kara, gue yakin, lo pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang gue lakukan sekarang."

Setelah mengatakan kalimat itu, Anka melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar.

Belum sampai di dekat pintu keluar, namun Anka memberhentikan langkahnya.

"Untuk soal Bunda gue dan Ana, kalian semua gak perlu khawatir." --Laki-laki itu memejamkan kedua kelopak matanya, lalu menghela napas panjang-- "karena gue bukan anak kandung Ayah dan Bunda gue."

Anka memang bukan anak kandung Ayah dan Bundanya. Remaja yang kini berusia tujuh belas tahun itu diadopsi dari sebuah panti asuhan saat ia masih berusia lima tahun, karena dahulu Ayah dan Bundanya sulit sekali untuk mendapatkan keturunan.

Dan pernyataan Anka sukses membuat semua orang yang mendengar hal itu merasa terkejut. Termasuk Nando yang sudah bersahabat dengan Anka sedari duduk di bangku Sekolah Dasar.

ANKARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang