-Enjoy!-
"Kamu lagi ngapain?" Anka membalikkan tubuhnya. Otak pintarnya seketika langsung tak berfungsi untuk menemukan sebuah alasan.
"Aku-" Viona masih menunggu dengan setia untuk mengetahui kelanjutan kalimat yang akan Anka tuturkan.
Laki-laki itu menghela napasnya lega, kala ponsel yang ia simpan di dalam saku celana berdering. Menandakan ada seseorang yang ingin menghubunginya.
"Hallo? Kenapa, Nan?"
[...]
"Ok. Gue ke sana sekarang."
Anka mematikan sambungan teleponnya dengan Nando. "Kamu mau ke mana?" Tanya Viona yang melihat Anka mengambil jaket dan tas miliknya yang tergeletak di atas sofa. Setelah jaket Vector telah melekat pada tubuhnya, laki-laki itu lalu menyampirkan tasnya pada salah satu bahu yang ia miliki.
"Aku ada urusan sama anak-anak Vector yang lain. Maaf banget, aku ngga bisa anterin kamu pulang. Kamu bisa ngerti, kan?" Anka meletakkan kedua tangannya di atas bahu Viona. Menatap kedua bola mata itu dengan sangat lekat. Walaupun yang Anka lakukan saat ini adalah sebuah kepalsuan, namun laki-laki itu tetap totalitas dalam menjalankannya. Tujuannya hanya satu, agar semua rencana yang sudah disusun berjalan dengan sempurna. Dan seulas senyum yang sudah lumayan lama tak Anka lihat dari bibir Kara, akan segera terbit.
Jeny sempat melihat tubuh Anka yang menghilang di balik tikungan saat ia hendak kembali menuju ruangannya, selepas meeting yang baru saja Jeny lakukan telah usai lebih cepat dari prediksinya.
°°°
Laki-laki bertubuh atletis itu memarkirkan motor kesayangannya di halaman depan basecamp Vector. Anka menggerakkan tungkainya dengan tergesa-gesa untuk masuk ke dalam basecamp. "Di mana, Kara?" Tanya Anka kepada sepuluh anggota Vector yang sedang menonton acara televisi di ruang tamu.
"Di kamar. Lagi ditangani sama dokter." Anka mengangguk paham. Kaki jenjangnya mulai menaiki satu-persatu anak tangga yang menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua.
Pintu kamar Kara terbuka. Semua orang mengalihkan pandangannya ke arah Anka yang sedang berjalan kian mendekat. "Kenapa bisa sakit gini sih, Ra?" Tanya Anka kepada Kara yang sedang duduk menyandar pada kepala ranjang tidurnya.
"Tidak ada penyakit serius yang diderita oleh pasien. Tolong diperhatikan pola makan dan tidurnya saja. Perbanyak minum air putih, karena tubuh pasien sangat kekurangan cairan." Dokter tersebut menuliskan resep obat pada sebuah kertas, lalu menyerahkannya kepada Anka.
Hanya tersisa Anka serta Kara di dalam kamar tersebut. "Lo mau nelpon siapa?" Tanya Kara saat melihat Anka hendak menghubungi seseorang dengan ponselnya. "Ken." Setelah mendengar jawaban Anka, gadis itu langsung bangkit dari tidurnya untuk merampas ponsel Anka.
Kara mematikan sambungan telepon yang sudah Anka lakukan, namun sambungan itu belum diterima oleh Kenzo. "Gua mau minta tolong sama lo. Jangan kasih tau Ken, kalau gua lagi sakit. Gua ngga mau ganggu konsentrasinya Ken. Satu bulan lagi, Ken ada lomba memanah tingkat nasional," pinta Kara yang dihadiahi anggukan kepala oleh Anka. "Menurut gua, ngga ada yang namanya kata ganggu, kalau untuk orang yang dicintai."
°°°
Beberapa Minggu menuju hari persidangan sang Ayah. Selama itu pula, Kara selalu membantu pengacara Ayahnya untuk menemukan bukti-bukti yang menyatakan bahwa sang Ayah tidak bersalah. Begitupun dengan Anka, Kenzo, serta anak-anak Vector yang lain. Mereka semua terus membantu Kara agar masalah yang dialami oleh Kara akan cepat selesai.
"Gimana Om? Apa ada kabar baru tentang penyelidikan yang Om lakukan?" Lucky membenarkan letak kacamatanya yang sempat turun. "Sejauh ini, masih sama seperti kabar yang sudah saya beri tahu kepada kamu beberapa hari yang lalu. Kamu jangan khawatir, saya akan kembali memulai penyelidikan kepada semua staf yang bekerja di perusahaan pusat milik Ayah kamu. Terutama pada bagian keuangan dan direktur utama."
Ponsel milik Kara berdering. Satu buah panggilan berasal dari Anka. Tanpa berpikir panjang, gadis itu langsung menerima panggilan tersebut.
"Lo di mana?"
"Di rumah Ken. Lagi ngobrol sama Om Lucky tentang kelanjutan kasus Ayah gua."
"Lo bisa pulang ke basecamp dulu, ngga?"
"Kenapa emangnya?"
"Lo pulang dulu aja. Kita bicara di sini, kalau ditelepon ribet."
"Ok. Gue on the way, sekarang."
Kara berjalan mendekat ke arah Kenzo dan Lucky yang sedang serius dengan beberapa berkas yang tergeletak di atas meja.
"Om Lucky." Lucky yang merasa namanya dipanggil, langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. "Sebelumnya, Kara mau berterima kasih dan minta maaf sama Om Lucky dan Ken." Kenzo serta Lucky mengerutkan keningnya, karena tak mengerti dengan maksud dari tuturan yang gadis itu tuturkan barusan. "Terimakasih, karena kalian berdua sudah mau membantu Kara untuk menemukan bukti-bukti, kalau Ayah ngga bersalah. Maaf juga, kalau hadirnya Kara justru membuat kalian repot."
Kenzo bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati Kara yang sedang berdiri beberapa centimeter di depannya. Laki-laki itu menangkup kedua pipi gadisnya. "Hey, ngga perlu bilang seperti itu. Hadirnya lo di hidup gue sudah sangat berarti. Dan sesuatu yang sangat berarti itu, akan gue jaga dan lindungi dengan sangat baik." Kenzo mengembangkan senyumnya. Senyum yang timbul di bibir Kenzo, membuat jantung Kara berdegup lebih cepat.
Deheman yang berasal dari bibir Lucky, membuat Kenzo dan Kara sedikit terkejut. Mereka berdua bahkan sampai tak menyadari, kalau sedari tadi Om-nya itu masih berada di tempat ini. "Santai aja. Om juga pernah muda, kok." Lucky terkekeh, kala melihat Kara serta Kenzo salah tingkah.
°°°
Kara melangkahkan kakinya ke dalam basecamp Vector yang sekarang menjadi rumah sementaranya. Ada sekitar dua puluh anggota Vector yang berada di dalam basecamp tersebut. "Kemarin, gue diajak ke perusahaan Tantenya Viona."
"Terus gimana? Di sana, lo dapat informasi apa aja?" Anka menggeleng. "Gue lagi mencari semua berkas yang berhubungan dengan Pradipta's Corp, tapi Viona keburu datang. Gue kepergok sama Viona. Tapi untung aja, kemarin Nando telpon gue di waktu yang sangat tepat. Gue bisa menghindari pertanyaan Viona dengan alasan ada urusan penting sama Vector." Semua orang terlihat sangat lesu, setelah mendengar penjelasan dari Anka.
"Tapi, gue punya satu rencana yang mungkin bisa mengembalikkan semua aset milik Pradipta's Corp yang sudah diambil alih oleh Porman's Corp." Wajah yang tadinya lesu, kini berganti dengan wajah yang berbinar-binar. Mereka semua berharap, kalau cara yang Anka punya akan berhasil.
"Ngga. Gue sudah ngga perduli dengan semua aset milik Pradipta's Corp yang sudah diambil alih oleh Porman's Corp. Yang gue inginkan sekarang, Ayah gue bisa secepatnya keluar dari Rutan. Gue ngga butuh harta itu, yang gue butuh hanya kehadiran Ayah gue. Walaupun gue tahu, Ayah gue ngga pernah menganggap kehadiran gue." Kara menyuarakan isi hatinya.
"Ini bukan soal butuh ataupun ngga butuh, Ra. Ini soal keadilan. Dan gue akan berdiri paling depan untuk memperjuangkan keadilan lo dan keluarga lo, meskipun lo sendiri ngga menginginkan hal itu untuk lo dapatkan."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Terimakasih yang sudah berkenan singgah di cerita ini!
Hope you like and enjoy my story!
Vote, comment, saran serta kritik selalu aku tunggu di setiap partnya!
Selama malam Minggu semua!
Salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANKARA (END)
Teen FictionSatu hal yang ingin Kara rubah di dalam hidupnya. Menjadi anak yang kehadirannya diinginkan oleh Ayah kandungnya sendiri. Menyandang nama Pradipta tak seindah yang orang lain bayangkan. Tampil perfectionist dan pintar adalah kewajiban yang harus Kar...