2.0

136 14 2
                                    

-Enjoy!-

Kara sedang menunggu kedatangan Ayahnya di ruang tunggu yang ada di Rutan tersebut. "Mau apa kamu datang kemari? Belum puas kamu, melihat saya jatuh terpuruk seperti ini?!" Wilson duduk berhadap-hadapan dengan Kara serta Anka.

"Kara pecaya sama Ayah. Ayah ngga mungkin melakukan hal keji seperti itu." Wilson tertawa sumbang. "Kepercayaan kamu ngga akan mengubah semua hal yang sudah terjadi."

"Kara ngerti, Yah. Kara akan mencari bukti yang menyatakan bahwa Ayah memang ngga bersalah," janji Kara pada Ayahnya.

"Saya tidak yakin, anak bau kencur seperti kamu bisa menyelesaikan masalah besar seperti ini." Lagi dan lagi, hanya kata-kata remehan yang keluar dari mulut Ayahnya.

"Terserah Ayah mau percaya sama Kara atau ngga. Satu hal yang perlu Ayah tahu, Kara punya firasat buruk dengan Jeny." Wilson menajamkan penglihatannya ke arah Kara. "Di mana sopan santun kamu?! Usia Jeny lebih tua dari kamu, jangan panggil dia dengan nama saja!"

"Sebaiknya kamu pergi dari sini, sebelum kesabaran saya hilang!" Usir Wilson. Kara hanya mengangguk patuh, walaupun rasa rindu kepada Ayahnya masih menumpuk di dalam relung hati.

"Kara pamit pulang dulu, Yah. Kara dan almarhumah Bunda sangat sayang Ayah." Kara beranjak dari duduknya. Satu bulir air mata langsung menetes dari manik matanya, kala gadis itu sudah membalikkan tubuhnya.

"Kenapa kamu masih ada di sini?!" Kini giliran Anka yang terkena amarah Wilson.

"Mungkin ini terdengar sangat lancang di telinga, Om, karena saya terlalu mencampuri urusan pribadi, Om dan juga keluarga. Di sini, saya ngga mau menyalahkan Om atau siapapun. Tapi saya hanya minta satu hal ke, Om. Tolong jangan salahkan Kara atas semua masalah yang menimpa, Om."

"Mungkin kalau bisa memilih, Kara lebih memilih untuk tidak lahir ke dunia ini dibandingkan dengan lahir, namun kehadirannya tidak pernah diharapkan sama Ayah kandungnya sendiri."

"Kara pernah bilang ke saya. Dia ngga pernah bisa benci dengan Om meskipun semua perilaku yang Om lakukan selama ini menyakiti hati Kara, bahkan saat Om ngga datang ke pemakaman Bundanya. Kara hanya kecewa, dan rasa sayang Kara ke Om bisa menutupi rasa kecewanya. Kara sendiri ngga ngerti kenapa itu semua bisa terjadi. Pikirannya menyuruh Kara untuk membenci, Om, namun hatinya menyuruh Kara untuk menyayangi, Om, dan Kara memutuskan untuk mengikuti kata hatinya."

"Sekali lagi, maaf kalau saya terkesan sangat lancang sama, Om. Kara butuh, Om. Kara itu rapuh, Om. Di dunia ini dia hanya punya Ayahnya, walaupun dia tahu, Ayahnya ngga pernah menganggapnya ada. Berusaha menerima keadaan, Om. Kara itu anak kandung, Om. Putri kandung, Om, dan di dalam tubuh Kara juga mengalir darah, Om, walaupun Kara terlahir dari wanita yang tidak Om cintai."

Anka beranjak dari duduknya. "Saya pamit dulu, Om. Sekali lagi, maaf kalau kata-kata saya tadi terkesan sangat menyudutkan, Om. Saya juga akan berusaha untuk membantu Om agar terbebas dari tempat ini. Saya yakin, Om ngga bersalah, karena Om adalah orang yang baik. Saya berharap, Om bisa mengerti maksud dari omongan saya tadi."

Langkah Anka langsung terhenti, kala mendengar Wilson membuka suaranya. "Tunggu!" Anka berhenti, namun tak membalikkan tubuhnya.

"Jaga Kara. Saya percaya sama kamu." Wilson langsung masuk menuju sel bersama satu orang polisi yang sedari tadi menjaganya.

°°°

Siapa yang menyangka, bahwa Danial dan anak-anak Boris yang terlibat di dalam penculikan Kara ditahan di Rutan ini. Awalnya, Anka hanya ingin melewati Danial yang sedang berpapasan dengannya.

"Bodoh!" Anka sangat yakin, tuturan Danial barusan ditujukan kepada dirinya. Anka kembali menghampiri Danial bersama satu orang polisi yang menjaganya.

ANKARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang