0.6

201 22 0
                                    

-Enjoy!-

Berlari dengan tergesa-gesa dan berharap suatu hal yang buruk tak akan terjadi kepada orang yang paling Kara cintai.

"Sus, gimana keadaan Bunda saya sus?" Tanya Kara, menghadang suster yang baru saja ingin masuk ke dalam ruang rawat Bundanya.

"Mohon tunggu di sini terlebih dahulu ya mbak, di dalam dokter sedang memeriksa keadaan pasien," jawab suster tersebut lalu melenggang masuk ke dalam ruang rawat tersebut.

"Bun, Bunda harus kuat ya, Kara selalu nunggu Bunda sadar di sini," lirih Kara seraya menatap nanar pintu ruang rawat Bundanya yang kini sudah tertutup rapat.

Hati Anka merasa sangat sakit melihat gadis yang biasanya memarahi dirinya sekarang tengah menangis.

Berjalan mendekat ke arah Kara, tangan kekar Anka langsung merangkul pundak Kara guna menyalurkan sedikit rasa tenang. Kara sendiri tak menolak sedikit pun terhadap perlakuan yang Anka lakukan saat ini, gadis itu justru menyenderkan kepalanya kepada pundak laki-laki tersebut. Yang Kara pikirkan hanya satu, semoga hal buruk tak akan pernah terjadi kepada bundanya.

Pintu ruang rawat tersebut akhirnya terbuka dan memperlihatkan seorang dokter dan kedua suster yang ada di belakangnya.

"Dok, gimana keadaan Bunda saya dok?" Tanya Kara seraya menghapus air mata yang sedari tadi mengalir di kedua pipi mulusnya.

"Denyut nadi Bunda kamu tiba-tiba saja tadi sangat lemah. Namun syukurlah, sekarang sudah kembali dengan normal," jelas dokter tersebut. Kara langsung menghela napasnya lega setelah mendengar penjelasan yang dokter itu paparkan barusan.

"Boleh saya menjenguk Bunda saya dok?" Tanya Kara memastikan. Dokter tersebut menganggukan kepalanya dua kali sebagai tanda persetujuan.

°°°

Bau obat-obatan dan suara dari alat electrocardiography langsung menyambut kedua remaja tersebut, kala mereka berdua baru saja tiba di ruang rawat Bunda Kara.

Di sana, terlihat wanita yang sudah lumayan berumur namun wajah cantiknya masih sangat terlihat walaupun dengan bibir pucat pasi yang menghiasi wajahnya, tengah terbaring lemah tak berdaya.

"Hai Bunda, Bunda apa kabar? Makasih Bun, makasih udah mau bertahan buat Kara," lirih Kara seraya memandangi wajah Bundanya.

"Bunda kapan sadar? Kara rindu banget sama Bunda," lanjut Kara dengan air mata yang sudah tak bisa ia bendung lagi.

"Maaf ya Bun, maaf kalo Kara jadi cengeng gini. Kara cuman capek Bun sama semuanya, Kara capek dengan dunia yang seakan ngga mengizinkan Kara bahagia barang satu detik pun." Tanpa Kara sadari, Anka mendengar semua keluh kesah yang gadis itu ceritakan kepada Bundanya. Entah seberat apa beban yang gadis itu pikul seorang diri, nyatanya dimulai dari detik ini, Anka ingin sekali menjadi salah satu alasan kebahagiaan yang katanya tak pernah gadis itu rasakan.

°°°

"Thanks Ka," ucap Kara tepat saat dirinya sudah berhasil keluar dari mobil Anka. Anka sendiri hanya menjawabnya dengan anggukan kepala lalu mulai menyalakan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan pekarangan rumah Kara.

Plak! Satu tamparan kembali meluncur bebas pada pipi kanan Kara. Di sana, Wilson sedang berdiri dengan raut wajah penuh emosi.

"Dari mana saja kamu?! Apa pantas, anak perempuan baru pulang tengah malam seperti ini?!" Geram Wilson dengan emosi yang sudah memuncak.

ANKARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang