10. Mimisan.

73 26 106
                                    

.
.
.
Jadi gini rasanya jadi stalker.

Mungkin itu yang tengah dikeluhkan oleh zaki. Bagaimana tidak, setelah kebodohannya tempo hari Zaki jadi terus-menerus dihantui rasa malu dan tak berani menampakkan dirinya di depan Nadhin, di luar konteks bahwa Nadhin tak mengenalinya sekalipun.

Seperti pagi ini, ketika Zaki hendak menuju tangga untuk naik ke lantai 2,namun ada Nadhin yang terlihat tengah berjalan ke arahnya, Zaki langsung putar haluan sebelum Nadhin melihatnya dan berjalan mendahului Nadhin ke arah koprasi. Yang padahal dia tak ada keperluan kesana.

Kepalang tanggung sudah didepan koperasi dan Nadhin semakin dekat, Zaki akhirnya masuk ke koperasi dan pura-pura mencari sesuatu di pojok.

"Permisi" Suara itu reflek membuat zaki menoleh.

Ah! Sialan.

Zaki memaksakan senyum di bibirnya membalas senyuman Nadhin, ketika hatinya berdebar tak karuan.

"Kenapa?" Tanya Zaki sok baik-baik saja. Padahal tangannya panas dingin berkeringat.

"Gue mau ambil Jangka sama busur plastik di kardus atas. Di rak bawah abis"

"O-ooh" Jawab Zaki sembari menggaruk belakang lehernya. Ia bingung, insting lelaki nya berkata untuk membantunya, karena memang cukup tinggi. Tapi tubuhnya menolak, ingin segera berlari menghindari perempuan ini ketika mengingat kebodohannya hari lalu.

"Gue ambilin" Dan akhirnya kata itu yang keluar dari mulutnya.

Nadhin pun mengiyakan saja karena memang lumayan tinggi, hal yang tidak mungkin untuk seorang perempuan memanjat rak besi setinggi itu didepan laki-laki apalagi dengan mengenakan rok, belum lagi soal jaga image yang selalu ia lakukan dimanapun. Ia pun hanya berdiri menunggu zaki yang tadi pamit pergi menemui Mba Tuti sebentar.

"Ngga ada alat buat ambil itu, katanya patah sama anak ips. " Datang Zaki sambil berkata demikian.

"Ouuh. Ya udah lah ngga usah, ngga papa."

"Eh eh, mau di pake kan?" Melihat Nadhin akan pergi entah kenapa ada perasaan tidak rela di hati zaki.

"Masih ada si yang dulu,tapi tinggal setengah derajatnya, udah patah."

"Ya udah gue panjat aja kali ya."

"Kalo lo manjatnya buat gue ngga usah. Ngrepotin nanti, gurunya juga pasti maklumin kok, tahun ajaran baru ini."

"Ngga papa, bisa kok." Kukuh Zaki tak mau terlihat lemah, apalagi jelek dimata Nadhin. "Sekalian bantuin mba Tuti, jadi nanti kalo ada anak lain mau beli tinggal ambil, ngga usah manjat-manjat lagi."

"Terserah lo deh. Hati-hati." Kata Nadhin sebelum Zaki memintanya mengambilkan satu kursi plastik di pojok sebelah mereka.

Zaki tersenyum menyadari ada sedikit perhatiaan yang terpancar dari sana. Kemudian berdehem menetralkan suaranya ketika Nadhin memberikan kursi itu untuk pijakan nya.

Nadhin hanya terpaku sambil sesekali mengeratkan pegangan tangan pada kursi yang membuat Zaki jauh lebih tinggi darinya. Zaki diatas sana pun telah menemukan kotak kardus yang dimaksud. Kotaknya lumayan besar.

"Ambil semua nih ya?" Tanyanya sambil menarik sedikit kardus itu memperlihatkannya pada Nadhin.

Zaki pun bergerak menyeretnya mendekat, lalu menurunkannya, membuatnya sejajar dengan dadanya, namun karena kardus yang diangkatnya ternyata memiliki ukuran yang lebih besar dari dugaannya, otomatis membuat zaki memundurkan diri,membuat space untuk memposisikan kardus itu tepat didepan dadanya, berhimpitan langsung dengan rak didepannya.

SETRIP.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang