28. Antara jadi dan nggak jadi.

41 17 52
                                    

.
.
.
Huft! Woylah! Sungguh, Nadhin tengah kebingungan sekarang. Bagaimana ia menjelaskan bahwa ia diajak pergi oleh seorang laki-laki? Berbohong? Oh, Big no! Nadhin sangat anti dengan yang namanya berbohong, sebisa mungkin ia akan berkata jujur apa adanya.

Tapi....

"Apa?" Kata-kata yang telah ia rangkai hilang seketika Nadhin melihat kenampakan mamah nya yang padahal tidak sedang menjadi orang gila ataupun perampok jahat yang Nadhin takuti. Nadhin meneguk ludahnya kasar, lalu menghela napas lirih.

"Mah.." panggil Nadhin sekali lagi.

"Apa??!" Kesal mamah nya yang sudah dua kali dipanggilnya.

"Aku kan udah gede, kan?-" mamah Nadhin menautkan alisnya "semisal nih ya, semisal loh. Semisal mah, semisal-"

"Iya, semisal apa?!" Mamah Nadhin kembali dibuat penasaran karena Nadhin berkata berkali-kali dengan kata yang sama. Mamah Nadhin lalu melanjutkan kegiatannya yaitu menaruh sayur yang baru saja Nadhin tumis.

"Mm, ini cuma semisal ya mah. Belum tentu beneran. Cuma semisal aja-" lanjut Nadhin berusaha memisalkan keadaannya. Sembari tangannya dengan cekatan membasuh beberapa piring di wastafel dapurnya. Juga beberapa peralatan masak bekas pakainya barusan.

"Ya apa? Semisal Mulu daritadi." Mamahnya bergerak menaruh semangkok sayur ke atas meja.

"Semisal, aku punya temen cowok gimana?" Sebisa mungkin Nadhin memulainya dengan pengandaian yang sederhana, jika itu di izinkan, maka itu akan jadi gerbang perizinan yang lain bukan. Mamahnya seketika berhenti bergerak lalu berbalik menghadap Nadhin yang kini berpura-pura sibuk menggosok bokong wajan yang hitam bekas pakainya.

"Kayak Hanan maksudnya?" Tanya Mamah nya sembari mempersibuk diri, juga sembari menanti kelanjutan percakapan ini.

"Mm, bukan. Temen baru." Jelas Nadhin was-was.

"Temen yang nganterin kamu abis hujan itu?" Ingatan mamah nya seketika tertuju pada cowok yang pernah mengantar Nadhin tempo waktu. Yaitu Magenta.

"Bukan juga. Tapi ya kayak gitu."

"Yang kamu maksud temen tuh yang kayak gimana sih? Bikin bingung aja. Kalo cuma temenan ya boleh, asal tetep jaga batas. Laki-laki tuh semuanya sama. Cuma beda cara ngomong sama sikapnya aja." Yah beginilah yang Nadhin tak sukai, mamah nya selalu menilai semua lelaki sama dan selalu menjelekkan lelaki, terutama lelaki yang masuk berita di televisi karena tindak kejahatan seksual. Dan terkecuali, suaminya.

"Temenan boleh, khususon tentang PACARAN, belum boleh! Inget, BELUM BOLEH!. Kalo udah kerja, baru boleh." Ucap nya yang kini tengah mengelap meja makan.

"Tau. Siapa juga yang mau pacaran. Terus kalo aku diajak pergi sama temen cowok gimana? Boleh nggak?" Disinilah poin utamanya terletak. Jika Nadhin diizinkan, maka ia akan pergi dengan Zaki malam ini. Dan jika tidak ya tidak pergi berarti.

"Jadi, intinya kamu minta izin mau pergi sama temen cowok? Gitu?"

Ceklekt!

"Boleh, asal dianterin bapak kalo nggak Hanan." Bapak nya yang baru saja selesai mandi, sepertinya menyimaknya dari dalam karena letaknya yang lumayan dekat dengan dapur.

"Pergi mau ngapain?" Namun sepertinya mamah nya masih ragu untuk memperbolehkannya pergi.

Nadhin menggeleng sembari menggantung wajan yang ia cuci di paku yang ada.

"Nggak jelas banget, nggak usah lah. Dirumah aja." Dan benar saja, ultimatumnya baru saja keluar.

"Kakak udah gede mah. Dia berhak cari pengalaman buat masa depannya nanti." Bapak Nadhin berjalan menuju meja makan dan membuka tudung saji, lalu mendudukkan dirinya di sana.

SETRIP.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang